Internasional, gemasulawesi - Marwa Fatafta yang merupakan manajer kebijakan MENA di Access Now sekaligus pakar menyebutkan jika serangan yang dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina belum pernah terjadi sebelumnya selama berpuluh-puluh tahun ini.
Marwa Fatafta menyebutkan jika demikian pula halnya dengan gaungnya yang terjadi secara online.
Menurut Marwa Fatafta, warga Palestina yang mendokumentasikan dan berbicara menentang Israel juga harus dihadapkan dengan sensor dan penindasan yang tanpa henti.
“Itu juga disertai dengan ledakan disinformasi yang disponsori, ujaran kebencian dan juga seruan untuk melakukan kekerasan di media sosial.
Menyusul agresi Israel di tanggal 7 Oktober 2023, Big Tech atau perusahaan teknologi besar dilaporkan bersiap untuk menghilangkan konten perang Palestina.
Mereka beralasan jika konten-konten seperti itu melanggar aturan mereka.
Baca Juga: Belum Selesai, Pejuang Tepi Barat Sebut Merupakan Hak Mereka untuk Membela Diri
Laporan menyatakan TikTok telah melakukan penghapusan dari 925.000 video dari Timur Tengah dalam kurun waktu dari tanggal 7 Oktober hingga 31 Oktober 2023.
Di tanggal 14 November 2023, media sosial X juga dilaporkan melakukan hal yang sama dengan menghapus lebih dari 350.000 postingan warganet tentang perang Palestina.
Sedangkan media sosial Meta yang dahulu bernama Facebook telah menindak lebih dari 795.000 postingan.
Baca Juga: Dibombardir, Ini Alasan Kenapa Penjajah Israel Menargetkan Kamp Pengungsi Jabalia
X juga dituduh membungkam suara-suara pro-Palestina seperti misalnya akun kelompok Aksi Palestina cabang AS yang tidak dapat mendapatkan pengikut baru.
Diketahui jika masalah ini baru dapat diselesaikan setelah tekanan masyarakat meningkat.
“Faktanya, X tampaknya menjadi pemimpin dari platform lain dalam hal jumlah ujaran kebencian dan hasutan kekerasan yang menargetkan rakyat Palestina,” katanya.
Marwa Fatafta menambahkan membungkam masyarakat Palestina sambil mempromosikan kekerasan dan disinformasi terhadap mereka mungkin merupakan modus operandi platform media sosial.
Menurut Fatafta, Telegram juga menjadi tuan rumah sejumlah saluran Israel yang secara terbuka menyerukan genosida.
“Bahkan jika berbicara mengenai bidang kemanusiaan, standar ganda terlihat jelas,” ujarnya.
Dia mencontohkan Meta yang saat itu berusaha keras untuk mengkoordinasikan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Palestina.
“Tidak ada dukungan yang seperti itu yang diberikan kepada warga Palestina yang menghadapi bencana kemanusiaan dan juga kesulitan untuk berkomunikasi,” jelasnya. (*/Mey)