Parigi moutong, gemasulawesi - Proyek pembangunan gedung layanan perpustakaan daerah di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, yang seharusnya menjadi mercusuar baru bagi dunia literasi lokal, kini justru meredup menjadi salah satu kasus polemik birokrasi dan politik paling panas di daerah tersebut.
Dengan alokasi dana segar dari pemerintah pusat senilai kurang lebih Rp 8,7 miliar, proyek strategis nasional ini terjerat dalam pusaran masalah keterlambatan pengerjaan, ancaman pemutusan kontrak, dan yang paling krusial, dugaan intervensi kekuasaan eksekutif daerah.
Kronik Keterlambatan dan Adu Argumen Teknis
Awalnya, proyek ini disambut antusias sebagai upaya meningkatkan minat baca dan akses informasi di Parigi Moutong. Namun, seiring berjalannya waktu, kekhawatiran mulai muncul. Pihak kontraktor pelaksana, CV Arawan, dinilai gagal mengejar target bobot pekerjaan yang telah disepakati dalam kontrak.
Menjelang tenggat waktu penyelesaian (sekitar pertengahan Desember), progres fisik di lapangan masih jauh dari kata memuaskan, memicu spekulasi bahwa proyek akan mangkrak atau terpaksa menggunakan skema denda keterlambatan yang besar.
Situasi teknis ini diperparah dengan adu argumen antara Dinas Perpustakaan, selaku pemilik proyek, dengan pihak kontraktor.
Kontraktor sempat mengusulkan perubahan spesifikasi material, seperti jenis kaca, yang ditolak mentah-mentah oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) karena dianggap tidak memiliki justifikasi teknis yang kuat, melainkan hanya didasari opini sepihak dari pelaksana.
Mangkraknya komunikasi efektif ini menjadi salah satu pemicu utama keruhnya suasana di lapangan.
Puncak Masalah: Aroma Intervensi Wakil Bupati
Dinamika proyek mencapai titik didih ketika isu teknis bergeser menjadi isu etika birokrasi. PPK proyek secara terbuka melontarkan tuduhan serius yang menyebut Wakil Bupati (Wabup) Parigi Moutong, Abdul Sahid, melakukan intervensi langsung dalam manajemen proyek.
Tuduhan tersebut mengklaim bahwa Wabup menekan PPK untuk mempercepat pencairan dana termin proyek, meskipun progres fisik di lapangan belum mencapai syarat minimal yang diatur dalam perundang-undangan.
Tindakan ini, jika benar, merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang nyata, di mana eksekutif melangkahi ranah administrasi dan teknis pengadaan barang/jasa.
Wabup telah membantah tuduhan tersebut, bersikeras bahwa kehadirannya di lapangan hanya sebatas fungsi pengawasan melekat pemerintah daerah untuk memastikan proyek strategis ini tidak gagal. Namun, bantahan ini tidak meredakan kecurigaan publik dan politisi lokal.
Reaksi Politik dan Tuntutan Akuntabilitas
Dampak dari polemik ini meresap ke ranah legislatif. Sejumlah anggota DPRD Parigi Moutong, yang geram melihat potensi kerugian daerah dan preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan, mulai menggalang dukungan untuk mengusulkan hak angket.
Hak angket ini ditujukan untuk menyelidiki dugaan intervensi Wabup secara mendalam dan meminta pertanggungjawaban politik.
Di sisi lain, Bupati Erwin Burase berjanji akan turun tangan langsung menyelesaikan masalah ini dengan memanggil semua pihak terkait.
Namun, janji ini belum sepenuhnya menghapus keraguan publik akan ketegasan pemerintah daerah dalam menegakkan aturan.
Kasus gedung perpustakaan ini adalah potret nyata rapuhnya sistem pengawasan dan potensi politisasi proyek pembangunan di daerah. Fokus utama kini bukan hanya pada kapan gedung perpustakaan itu selesai, melainkan pada penegakan akuntabilitas.
Masyarakat menanti transparansi penuh dan audit mendalam dari aparat penegak hukum atau BPK untuk memastikan tidak ada kerugian negara dan intervensi kekuasaan yang mencederai amanah pembangunan di Parigi Moutong. (fan)