Internasional, gemasulawesi – Di tanggal 11 dan 12 Januari 2024, Mahkamah Internasional (ICJ) mengadakan sidang perdananya yang berkaitan dengan kasus genosida penjajah Israel yang diajukan oleh Afrika Selatan di akhir bulan Desember 2023.
Dalam pengajuan tersebut, Afrika Selatan berpendapat jika penjajah Israel melakukan perang yang bersifat genosida dan itu karenanya menjadikannya sebagai pelanggaran terhadap Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida.
Statuta yang dimiliki oleh ICJ memperbolehkan negara pihak untuk memilih seseorang sebagai hakim ad hoc jika negara yang bersangkutan tidak memiliki hakim yang memiliki kewarganegaraan negara yang dimaksud ketika ICJ menangani sebuah perkara dimana negara yang bersangkutan menjadi salah satu pihak.
Afrika Selatan kemudian memutuskan untuk memilih mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung Dikgang Moseneke, sedangkan Israel memilih mantan Presiden Mahkamah Agung yang bernama Aharon Barak.
Aharon Barak yang kini berusia 87 tahun itu diketahui memiliki rekam jejak yang hebat selama kariernya di bidang hukum.
Barak pernah menjabat sebagai hakim di MA selama 28 tahun dengan 11 tahun diantaranya sebagai presiden.
Baca Juga:
Tidak Pandang Bulu, Seorang Anak di Bawah Umur Tewas Ditembak Tentara Penjajah Israel
Dia mengawali kariernya sebagai hakim dengan menjadi Jaksa Agung Israel selama 3 tahun dari tahun 1975 hingga 1978.
Selain itu, Aharon Barak juga memiliki karier yang cemerlang di Universitas Ibrani.
Barak juga merupakan seorang penulis yang produktif dengan reputasi internasional dan menjadi pembicara di banyak universitas bergengsi.
Baca Juga:
Konflik Melebar, Hizbullah Nyatakan Siap untuk Perang Tanpa Batas dengan Penjajah Israel
Namun, dia juga memiliki rekam jejak yang kontroversial terkait menghindari nroma-norma hukum internasional untuk mendukung apartheid yang dilakukan penjajah Israel.
Di tahun 2004, ICJ diketahui menyatakan jika tembok yang dibangun oleh penjajah Israel di Tepi Baratadalah ilegal karena melanggar HAM rakyat Palestina.
Tetapi, Aharon Barak dilaporkan memohon untuk berbeda dimana di bawah kepemimpinannya, pengadilan memberikan stempel persetujuan mereka, meskipun kenyataan yang ada tembok tersebut membentang di seluruh Tepi Barat.
Baca Juga:
Usaha Bertahan Hidup, Warga Palestina Berjuang Hidupkan Kembali Pasar di Kamp Pengungsi Jabalia
Selain itu, saat dipimpin Barak, Mahkamah Agung penjajah Israel berulang kali menolak argumen yang menyebutkan praktik kejam pembongkaran rumah warga Palestina yang dikatakan bersifat hukuman adalah ilegal menurut hukum internasional. (*/Mey)