Internasional, gemasulawesi – Seorang warga Palestina, Mohammed R Mhawish, yang kini harus hidup di kamp penampungan seperti halnya warga Palestina yang lainnya, menceritakan perjuangannya untuk mendapatkan makanan untuk keluarganya.
Mohammed R Mhawish mengatakan jika di luar perlindungan yang diberikan kamp penampungan meskipun tetap ada ancaman karena serangan yang diluncurkan penjajah Israel, ada perjuangan untuk mendapatkan makanan.
Mohammed R Mhawish mengakui jika dia ingin menggunakan hiperbola, dia tidak mengingat makanan terakhir yang dimakan anaknya.
Baca Juga:
Terkena Boikot Karena Perang Palestina, Ini Dampak yang Dirasakan Beberapa Merk Dunia
“Gandum kini tidak dapat ditemukan dimanapun saat ini sehingga kami akhirnya memilih untuk menggunakan barley dan jagung yang berkualitas pakan ternak untuk kemudian kami giling menjadi tepung untuk akhirnya membuat roti,” katanya.
Dia mengakui meskipun cara alternatif ini langka, namun, itu adalah salah satu cara para pengungsi Palestina untuk dapat bertahan hidup.
Mohammed R Mhawish mengatakan jika bantuan kemanusiaan yang masuk ke Jalur Gaza ini sangat terbatas dan juga tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dengan banyaknya perut yang harus diisi.
Baca Juga:
Tentang Kebijakan AS terhadap Warga Palestina, Ahli Sebut Tidak Akan Mengubah Dinamika Perang
“Namun, kami tetap harus bertahan hidup selama berbulan-bulan perang ini berlangsung, tanpa pendapatan atau mata pencaharian,” ujarnya.
Mhawish menambahkan jika ada kebutuhan pokok yang dapat ditemukan dan itu bukan berbentuk bantuan, maka harganya pun akan meroket.
“Akibat dari semua ini adalah kelaparan yang meluas di Jalur Gaza, termasuk dengan bayi, anak-anak dan orang tua yang semuanya menderita kekurangan makanan yang sama,” jelasnya.
Mohammed R Mhawish membeberkan jika 1 ons kopi yang dulu hanya berharga 10 shekel kini menjadi 120 shekel, sedangkan 1 liter air minum yang harganya 1 syikal menjadi 15 syikal.
Ditambahkan Mohammed R Mhawish, jika berhasil mendapatkan makanan, maka itu tetap harus dimasak.
“Tanpa gas untuk memasak, orang-orang akan menyisir reruntuhan untuk menemukan apa yang dapat mereka bakar untuk api memasak,” terangnya.
Mohammed R Mhawish melanjutkan jika hal tersebut juga membuat semua orang rentan terhadap pemboman yang dapat terjadi kapan saja. (*/Mey)