Internasional, gemasulawesi – Di kamp pengungsi Jabalia yang berada di sebelah utara Gaza, terdengar tangisan seorang anak yang masih berusia 11 tahun bernama Ahmad.
Ahmad diketahui adalah seorang anak Gaza yang kehilangan ayahnya akibat pasukan pendudukan Israel.
Sementara itu, ribuan kilometer jauhnya dari Gaza, di Belgia, seorang anak Palestina lainnya yang bernama Zain yang berusia 15 tahun berduka karena kehilangan ayahnya yang bekerja sebagai seorang juru kamera di media terkenal di dunia.
Seorang profesor ilmu politik di Kanada, Ghada Ageel, mengakui saat mendengar kabar-kabar tersebut membuatnya tidak dapat lepas dari pikiran anak-anak tersebut.
“Mereka harus menanggung trauma abadi karena sengaja dijadikan yatim piatu oleh para militer Israel,” katanya.
Salah satu anak Gaza yang lain, Donia, sedang dalam pemulihan di salah satu rumah sakit di Khan Younis, ketika jenazah ayah Zain dibawa masuk dan dipersiapkan untuk pemakaman.
Baca Juga: Gaza Memiliki Ladang Gas, Peneliti Sebut Potensinya Terbelenggu Karena Kekangan Penjajah Israel
Donia mengakui jika rumah tempat keluarganya berlindung selama ini telah dibom Israel yang membuat orang tuanya meninggal dan juga 2 saudara kandungnya.
Donia sendiri mendapati kakinya patah sehingga harus diamputasi.
Namun, hal yang lebih menyedihkan terjadi ketika tentara Israel menyerang Rumah Sakit Nasser yang menjadi tempat Donia dirawat.
Baca Juga: Tetap Lakukan Gempuran, Memahami Perang Gaza di Era Media Sosial Seperti Sekarang
Itu menyebabkan Donia yang menjadi gadis yatim piatu tewas di ranjang rumah sakitnya.
Ghada Ageel mengakui dia bertanya-tanya bagaiman dengan anak-anak Palestina lain yang selamat, namun, hati dan tubuhnya hancur, dan juga tidak memiliki lagi keluarga yang merawat mereka.
Anak yatim piatu lainnya yang tidak disebutkan namanya, yang mungkin seusia Donia, juga membagikan kisahnya yang mengerikan.
Baca Juga: Timbulkan Dampak yang Lain, Agresi Penjajah Israel Membuat Banyak Pemain Sepak Bola Palestina Tewas
Dia menceritakan jika dia kehilangan 7 orang, yang termasuk dengan orang tua, saudara kandung, kakek-nenek dan juga bibi serta pamannya.
“Mereka meninggal ketika kami sedang mencari perlindungan di sebuah chalet yang berada di tepi pantai karena kami telah kehilangan rumah,” ucapnya.
Dia mengakui hanya dia dan saudara lelakinya yang berusia 5 tahun yang selamat dan karena tidak dapat berjalan dan membutuhkan operasi segera, dia mengharapkan dan berdoa untuk dibukanya penyeberangan Rafah.
“Saya berharap mendapatkan kesempatan untuk keluar,” jelasnya. (*/Mey)