Internasional, gemasulawesi – Sejak perang yang dimulai tanggal 7 Oktober 2023, perempuan Palestina di Gaza menderita karena kekurangan pembalut untuk mereka setiap bulannya, alat sterilisasi dan juga peralatan kebersihan pribadi untuk masing-masing.
Disebutkan jika ini memiliki dampak negatif terhadap kehidupan kaum perempuan Gaza, terutama untuk masa depannya, seiring dengan berlanjutnya perang yang tetap dilakukan Israel dengan alasan menghancurkan Hamas.
Salah satu perempuan Gaza yang meminta untuk tidak disebutkan namanya mengeluhkan kepada media jika mereka kadang harus menghabiskan waktu hingga berhari-hari lamanya untuk mendapatkan pembalut dengan mencarinya di apotek, toko dan juga pasar lokal.
Baca Juga: Gaza Memiliki Ladang Gas, Peneliti Sebut Potensinya Terbelenggu Karena Kekangan Penjajah Israel
“Itu juga akan diikuti dengan kami tidak menemukan apapun untuk kami,” katanya.
Dia mengakui kaum perempuan seperti dirinya menderita karena tidak adanya peralatan kebersihan diri, terutama ketika saatnya mereka menstruasi dengan kebersihan yang harus lebih diperhatikan.
Zainab Omar yang merupakan seorang pengungsi Palestina di kota Rafah setelah harus mengungsi dari kampung halamannya beberapa waktu yang lalu, harus menghabiskan beberapa harinya untuk mencari pembalut, namun, tidak mendapatkannya.
Baca Juga: Tetap Lakukan Gempuran, Memahami Perang Gaza di Era Media Sosial Seperti Sekarang
“Saya tidak tahu jika perang akan berlangsung lebih lama dari yang saya perkirakan dan saya berjuang keras untuk bertahan hidup,” ujarnya.
Zainab menyampaikan dia juga tidak tahu akan menghadapi perjalanan siksaan baru saat mengungsi yang akan melibatkan pencarian pembalut di pengungsian saat masa menstruasinya semakin dekat.
Dia menerangkan tidak mempersiapkan dirinya untuk kondisi yang seperti itu.
Baca Juga: Timbulkan Dampak yang Lain, Agresi Penjajah Israel Membuat Banyak Pemain Sepak Bola Palestina Tewas
“Saya tidak membawa perlengkapan mandi jika berada dalam kondisi waktunya menstruasi saya datang dan suami saya juga sering mencari pembalut untuk saya, namun, dia juga tidak menemukannya,” jelasnya.
Zainab memaparkan dia harus memotong jilbabnya dan membaginya menjadi 3 bagian untuk digunakan sebagai pembalut sekarang ini, karena dia biasa mencuci jilbab yang dia gunakan.
“Saya menangis karena ini dan saya takut tertular bakteri saat menggunakan kain sebagai pengganti pembalut, tetapi saya tidak memiliki pilihan lain,” terangnya.
Kurangnya persediaan untuk perempuan, terutama pembalut wanita, telah mendorong banyak aktivis untuk menyerukan di media sosial untuk menuntut penyediaan perlengkapan kewanitaan.
Mereka menekankan jika persediaan seperti itu bukanlah barang mewah dan mungkin akan menimbulkan berbagai dampak negatif jika tidak tersedia di masa perang seperti sekarang. (*/Mey)