Jepara, gemasulawesi - Daniel Frits Maurits Tangkilisan, seorang Aktivis Lingkungan Karimunjawa, telah menjadi sorotan publik setelah dijatuhi hukuman penjara selama tujuh bulan oleh Pengadilan Negeri Jepara.
Kasus ini bermula dari aksi protes Daniel terhadap pencemaran limbah di wilayah Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Protes Daniel tentu bukan tanpa alasan, melainkan dipicu oleh maraknya tambak udang intensif ilegal yang merusak lingkungan dan mengganggu pariwisata yang menjadi sumber penghasilan utama masyarakat setempat.
Daniel mengunggah komentar kritis terhadap kondisi lingkungan Karimunjawa, menyoroti dampak negatif dari tambak udang ilegal terhadap laut dan kehidupan ekosistemnya.
Namun, komentar tersebut menimbulkan kontroversi dan kecaman dari sejumlah pihak, termasuk dari pihak yang terlibat dalam usaha tambak udang ilegal.
Seorang warga yang dekat dengan industri tambak udang intensif ilegal melaporkan Daniel ke pihak berwajib dengan tuduhan menyebarkan informasi yang dapat menimbulkan rasa kebencian terhadap kelompok tertentu.
Yang aman hal ini juga diatur dalam Pasal 45A Ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Proses hukum dilanjutkan di Pengadilan Negeri Jepara, dengan hakim ketua Parlin Mangantas Bona bersama hakim anggota Joko Ciptano dan Yusuf Sembiring.
Baca Juga:
Lonjakan Kendaraan ke Arah Timur, Korlantas Polri Perpanjang One Way KM 72 ke KM 414 di Tol Cipali
Majelis hakim memutuskan bahwa Daniel bersalah atas tuduhan yang dikenakan padanya dan melanggar beberapa pasal, termasuk UU No 8/2018 tentang hukum acara pidana.
Vonis yang dijatuhkan termasuk pidana penjara selama tujuh bulan dan denda sebesar Rp5 juta.
Reaksi terhadap vonis ini pun bervariasi. Penasihat hukum Daniel, Sekar Banjaran Aji, mengutuk keras putusan tersebut.
Sementara Daniel sendiri menyatakan bahwa masih ada yang harus "dibongkar."
Setelah vonis dijatuhkan, Daniel langsung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Tengah sebagai upaya untuk mendapatkan keadilan yang dianggapnya sesuai.
Dalam putusan tersebut, hakim menggarisbawahi penggunaan frasa “masyarakat otak udang” untuk membuktikan ujaran kebencian.
Padahal, frasa tersebut tidak merujuk pada masyarakat tertentu berdasarkan suku, ras, atau agama, melainkan lebih kepada kritik terhadap praktik tambak udang ilegal secara umum.
Hal ini memunculkan perdebatan tentang batasan-batasan dalam menyuarakan pendapat serta perlindungan terhadap hak-hak aktivis lingkungan dalam konteks kebebasan berekspresi. (*/Shofia)