Internasional, gemasulawesi – Hingga kini, Israel masih terus membombardir Jalur Gaza dan juga bagian Palestina yang lain meskipun jumlah korban jiwa telah menembus angka 20 ribu lebih.
Disebutkan jika reaksi tentara Israel terhadap operasi yang dilakukan Hamas di tanggal 7 Oktober 2023 telah melalui 4 fase berbeda.
Fase pertama adalah yang dimulai beberapa jam setelah serangan ke wilayah Israel, sebagian besar merupakan pemboman melalui udara sebagai balas dendam terhadap Hamas.
Baca Juga: Israel Katakan Perang Gaza Seperti PD II, Ahli Sebut Hal Ini Membenarkan Kebrutalan
Itu juga dikatakan merupakan persiapan Israel untuk langkah selanjutnya.
Fase kedua, yaitu infanteri dan artileri memasuki wilayah utara dari Jalur Gaza dari 3 arah yang berbeda.
Israel kemudian maju menuju Kota Gaza untuk memutusnya dari wilayah Palestina.
Di fase ketiganya, tentara Israel menyelesaikan pengepungan mereka di pinggiran kota di Jalur Gaza, kemudian melakukan beberapa kemajuan terbatas dan melakukan penyelidikan ke arah pusat.
Pada fase keempat yang terjadi saat ini, militer Israel membuat kemajuan yang lambat menuju pusat kota Gaza dan terlibat pertempuran perkotaan yang sebenarnya dengan pejuang Hamas.
Setelah menyelesaikan blokade mereka terhadap kota terbesar di sebelah utara Gaza, Israel diketahui mengulangi pendekatan serupa di pusat kota pertempuran di Khan Younis kini juga memasuki fase keempat.
Disebutkan jika sejauh ini, pertempuran yang dilakukan Israel hanya terbatas pada pertempuran darat konvensional dan kedua belah pihak, baik Hamas maupun Israel melakukan operasinya sesuai dengan yang diperkirakan para analis.
“Ancaman perang terowongan belum terwujud,” kata salah satu analis yang tidak disebutkan namanya.
Salah seorang pensiunan jenderal Amerika Serikat yang pernah bertugas di Irak mengungkapkan jika senjata yang paling efisien dalam peperangan perkotaan adalah pengalaman.
Baca Juga: Sejak Perang Dimulai, Penjajah Israel Dilaporkan Telah Menangkap Hampir 4700 Orang di Tepi Barat
Dia menjelaskan bahwa setiap persenjataan yang dimiliki tentara di dunia akan dirancang untuk situasi tertentu yang dibayangkan dan ideal yang tidak pernah ada di lapangan.
“Sampai setiap pejuang dan setiap unit yang terlibat mendapatkan pengalaman penting tersebut, mereka akan menerima lebih banyak korban,” ungkapnya. (*/Mey)