Nasional, gemasulawesi - Anggota DPR RI, Bambang Soesatyo, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum DPP Periksha (Perkumpulan Pemilik Izin Khusus Senjata Api Bela Diri Indonesia), menyuarakan pentingnya memperbarui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 yang memuat ketentuan mengenai hak kepemilikan dan pemakaian senjata api.
Dalam kegiatan Asah Keterampilan Periksha 2025 yang digelar di Denpasar, Bali, pada hari Sabtu, Bamsoet sapaan akrabnya menyatakan perlunya DPR RI mengambil langkah untuk memulai revisi melalui jalur inisiatif legislatif.
“Kami sebenarnya sudah menyusun draft perubahan terhadap undang-undang lama ini, lengkap dengan naskah akademiknya. Sekarang tinggal mendorong agar inisiatif revisi ini bisa diambil alih oleh DPR,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa terdapat dua mekanisme untuk mengusulkan perubahan undang-undang, yakni melalui DPR atau pemerintah.
Baca Juga:
BMKG Imbau Waspada Usai 113 Gempa Susulan Guncang Poso
“Namun untuk kasus ini, kami melihat jalur DPR lebih tepat, sehingga kami akan mendorong teman-teman di parlemen agar mengambil langkah merevisi Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951,” ungkapnya.
Saat ini, Periksha telah menaungi kurang lebih 300 pemilik senjata api yang memiliki izin resmi. Bambang Soesatyo menekankan pentingnya adanya dasar hukum yang kokoh bagi keberadaan mereka.
Ia menjelaskan bahwa para pemilik senjata api ini tidak bisa seenaknya menggunakan senjatanya, karena mereka merupakan bagian dari komponen cadangan dalam sistem pertahanan negara.
“Jumlah anggota TNI diperkirakan mencapai 600 ribu orang, sementara Polri memiliki sekitar 700 ribu personel. Dengan wilayah Indonesia yang sangat luas dan beragam tantangan keamanannya, kami para pemilik izin khusus senjata api memiliki keterampilan menembak dan tergabung dalam komponen cadangan bela negara. Ke depan, kamilah yang akan diberi kewenangan untuk melatih masyarakat dalam penggunaan senjata,” ujarnya.
Baca Juga:
Kejagung Cegah Dua Petinggi SGC, Terkait TPPU dan Uang Rp50 Miliar untuk Zarof Ricar
Bamsoet mengajukan pertanyaan kepada Direktorat Intelkam Polda Bali mengenai siapa yang berwenang menilai tindakan pemilik senjata api ketika mereka terpaksa menggunakannya dalam situasi membela diri atau saat nyawa mereka berada dalam bahaya.
“Masalahnya, dibutuhkan saksi dalam situasi seperti itu, padahal keterangan saksi bisa saja mengandung penilaian yang subjektif. Intinya, kita harus ekstra hati-hati dan bijak, serta penting untuk kembali mencermati dan memahami isi Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyoroti Peraturan Kapolri (Perpol) Nomor 1 Tahun 2022 yang mengatur soal perizinan, pengawasan, dan pengendalian kepemilikan senjata api di lingkungan kepolisian.
Aturan ini, menurutnya, bisa memberikan ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara, yang berpotensi merugikan pemilik senjata resmi yang tergabung dalam organisasi.
“Karena itu, perlu kehati-hatian. Jangan sampai niat memiliki senjata api untuk membela diri dan melindungi kehormatan serta keselamatan keluarga justru berujung pada masuknya kita ke penjara,” kata Bamsoet.
Melihat masih digunakannya regulasi yang ada saat ini, anggota Komisi III DPR RI tersebut mengusulkan agar pihak kepolisian mengadakan simposium guna menyamakan pandangan tentang jenis ancaman yang sah untuk merespons dengan penggunaan senjata api oleh pemilik izin.
Ia juga mengingatkan para pemilik senjata agar selalu menggunakan senjatanya secara bertanggung jawab dan penuh kesadaran.
“Senjata harus selalu melekat di tubuh pemiliknya, jangan disimpan sembarangan baik di kendaraan, bagasi, atau tempat lain karena itu berisiko tinggi dan dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang berat,” pesannya.
“Kalau dahulu kita berjuang dengan bambu runcing, sekarang kita sudah dilengkapi dengan senjata api. Maka gunakanlah dengan penuh tanggung jawab dan kebijaksanaan,” pungkasnya. (*/Zahra)