Internasional, gemasulawesi – Menurut laporan, dikabarkan jika pemerintah penjajah Israel sedang mempertimbangkan untuk melonggarkan tindakan pengendalian yang selama ini mereka lakukan di Tepi Barat menjelang bulan Ramadhan.
Laporan yang sama menyebutkan jika itu dilakukan untuk menghindari pecahnya kekerasan secara besar-besaran.
Di sisi lain, sebelumnya terdapat laporan yang menyampaikan jika di awal pekan ini, Kabinet Perang penjajah Israel sedang membahas pelonggaran tindakan pembatasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat.
“Terutama dengan mengizinkan sekitar 100.000 pekerja Palestina kembali ke penjajah Israel,” kata salah satu sumber yang tidak disebutkan namanya.
Selain itu, izin tersebut juga termasuk dengan membolehkan masuknya para jamaah ke Masjid Al-Aqsa di Yerusalem selama Ramadhan.
Diketahui jika langkah-langkah tersebut disarankan oleh tentara penjajah Israel dan juga badan intelijen internal penjajah Israel, Shin Bet, ke pemerintah penjajah Israel.
“Baik tentara ataupun intrelijen penjajah Israel menyebutkan dengan memberikan izin untuk para pekerja Palestina dan jamaah memasuki Yerusalem serta penjajah Israel akan menghindari pecahnya kekerasan di Tepi Barat selama Ramadhan,” ujarnya.
Diketahui jika sejak perang pecah di tanggal 7 Oktober 2023, penjajah Israel menangguhkan izin masuk untuk sekitar 100.000 warga Palestina yang bekerja di penjajah Israel.
Tindakan lainnya yang dilakukan penjajah Israel, yakni memblokir puluhan jalan antara kota besar dan kota kecil di Tepi Barat.
Tentara penjajah Israel juga melakukan penangkapan kepada hampir 7.000 orang warga Palestina.
Di sisi lain, pemerintah penjajah Israel juga terus menahan uang bea cukai Palestina yang selama ini dikumpulkan penjajah Israel atas nama Otoritas Palestina.
Menurut laporan, penahanan uang bea cukai oleh penjajah Israel telah membuat krisis keuangan meningkat yang dialami oleh Otoritas Palestina.
Baca Juga:
Sebut Banyak Kelaparan Terjadi di Gaza, Joe Biden Nyatakan Tindakan Penjajah Israel Telah Berlebihan
Dampak lainnya adalah meningkatkan ketegangan sosial dan juga ekonomi dalam masyarakat Palestina, khususnya di Tepi Barat.
“Semua barang kebutuhan pokok disini menjadi lebih mahal dan gaji juga tidak mencukupi untuk itu,” aku Mohammad Maher yang merupakan seorang supir taksi di desa-desa timur Ramallah. (*/Mey)