Internasional, gemasulawesi – Beberapa waktu yang lalu, serangan udara Israel yang kembali dilanjutkan setelah gencatan senjata yang dilakukan selama sepekan dan menewaskan salah satu ilmuwan terkemuka dunia asal Gaza, Dr Sufyan Tayeh, bersama dengan keluarganya.
Dr Usman Tayeh dikenal sebagai ilmuwan yang juga menjabat sebagai pimpinan Universitas Islam di Gaza dan merupakan anggota terkemuka dari komunitas fisika teoretis dan matematika terapan yang dianggap termasuk dalam 2% peneliti sains teratas di seluruh dunia pada tahun 2021.
Kematian Dr Usman Tayeh dikatakan telah banyak ditangisi oleh warga Palestina di seluruh dunia di media sosial.
Dr Sufyan Tayeh lahir di Kamp Pengungsi Jabalia di tahun 1971 dan mempelajari fisika teoretis dan matematika terapan.
Di tahun 2005, dia ditahan oleh otoritas Israel saat melintasi perbatasan Rafah ke Mesir untuk menyelesaikan gelar doktornya dari Universitas Ain Shams.
Namun, pendudukan dan blokade Israel tidak menghalangi ilmuwan tersebut untuk meraih berbagai penghargaan.
Beberapa pendapat menyebutkan jika jelas sekali bahwa serangan sistematis yang dilakukan Israel ke Gaza tidak hanya menyasar berbagai lembaga-lembaga pendidikan, namun, juga membunuh pilar-pilar intelektual masyarakat Palestina.
Pembunuhan Dr Tayeh adalah bukti mengerikan akan hal ini. Universitas yang dia sebut sebagai rumahnya, Universitas Islam Gaza, juga telah hancur menjadi puing-puing yang hanya dapat dilihat reruntuhannya saja.
Dr Usman Tayeh baru-baru ini ditunjuk sebagai Ketua UNESCO untuk Fisika dan Ilmu Luar Angkasa di Palestina dan dianugerahi Penghargaan Abdul Hameed Shoman untuk Ilmuwan Muda Arab.
“Motivasi kampanye penghancuran Israel yang lebih luas lebih dari sekedar menghancurkan bangunan dan manusia, namun, juga berupaya untuk menghapus ingatan akan upaya intelektual,” kata salah satu pakar yang tidak disebutkan namanya.
Dia menambahkan jika dengan membunuh Dr Usman Tayeh dan menghancurkan Universitas Islam Gaza, Israel telah mengirimkan pesan yang jelas.
“Mereka ingin memadamkan api intelektual berupa rasa ingin tahu, inovasi dan pertumbuhan intelektual di Gaza,” pungkasnya. (*/Mey)