Internasional, gemasulawesi – Salah satu pengungsi Palestina, Hussein Owda, mengatakan jika untuk dapat ke kamar mandi, pengungsi Palestina harus mengantri hingga berjam-jam lamanya di hari-hari tertentu.
Hussein Owda menyatakan dia mengalami minggu yang buruk, dengan situasi yang mengerikan yang dialami di Jalur Gaza dan juga hancurnya layanan kesehatan.
Hussein Owda menyebutkan jika dia harus mencari air dan menyalakan api untuk menghangatkannya.
Baca Juga:
Peringati 100 Hari Perang Gaza, Turkiye Deportasi Pemain Sepak Bola Asal Penjajah Israel
“Namun, itu sangat berharga dan ini adalah salah satu hal yang tidak cukup kami syukuri sebelum perang ini terjadi,” katanya.
Owda dan juga keluarganya tinggal bersama-sama ribuan pengungsi Palestina yang lain yang melarikan diri ke Khan Younis dari Jalur Gaza utara, yang menjadi tempat mereka tinggal sebelumnya.
Di Pusat Pelatihan Khan Younis, yang menjadi lokasi pengungsian mereka sekarang, Hussein Owda memaparkan bahwa keluarga-keluarga terpecah-pecah.
“Perempuan, anak perempuan dari segala usia dan juga anak-anak yang lebih kecil tidur di dalam rumah, sedangkan laki-laki dan anak laki-laki yang lebih tua tidur di luar,” jelasnya.
Hussein Owda menerangkan hidup para pengungsi Palestina disana cukup mendasar, dengan mereka menyalakan api agar dapat memasak, tidur di alam terbuka dan berkeliling dengan menggunakan keledai.
“Ini seperti kami kembali ke masa lalu, ke cara hidup yang lebih primitif,” ujarnya.
Owda menuturkan, meskipun begitu, di dalam kehidupan primitif, semua orang mungkin mengharapkan privasi atau bahkan ruang yang cukup untuk berbaring di tanah untuk tempat tidur.
“Namun, tidak demikian halnya dengan kehidupan primitif yang sekarang kami jalani ini,” tekannya.
Hussein Owda mengakui beberapa hal yang harus dijalaninya dalam kehidupan pengungsi ini membuatnya frustasi, seperti harus mengantri setiap memerlukan kamar mandi, atau saat anak-anaknya memerlukan kamar mandi.
Meskipun begitu, bersama pengungsi Palestina yang lain, dia juga tetap bersemangat.
Owda menyampaikan jika di awal perpindahan mereka, anak-anaknya sangat takut dengan suara bom dan pesawat yang terbang diatasnya.
“Namun, kini tampaknya mereka tidak banyak bereaksi tentang itu,” imbuhnya. (*/Mey