Parigi Moutong, gemasulawesi - Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, melaksanakan kegiatan sosialisasi perubahan iklim yang berkeadilan gender sebagai bagian dari komitmen mereka dalam merespons tantangan iklim global.
Acara ini berlangsung di lantai dua Kantor Bupati pada hari Kamis, 27 Februari 2025, dan dibuka oleh Staf Ahli Bupati Bidang Perekonomian, Pembangunan, dan Kesejahteraan Rakyat Setda Parigi Moutong, Aswini Dimpel.
Kehadiran berbagai pihak dalam kegiatan ini menunjukkan adanya sinergi lintas sektor dalam menghadapi ancaman perubahan iklim yang semakin terasa di berbagai wilayah.
Dalam sambutannya, Aswini menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Yayasan Merah Putih Sulawesi Tengah atas kemitraan dan kepeduliannya dalam upaya meningkatkan kesadaran serta peran aktif masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim.
Kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil seperti Yayasan Merah Putih dinilai sangat penting untuk menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas, serta memastikan bahwa informasi dan pengetahuan terkait perubahan iklim dapat diakses oleh semua kalangan.
Upaya ini juga memperkuat keterlibatan komunitas dalam menyusun strategi adaptasi dan mitigasi yang lebih inklusif.
Ia menjelaskan bahwa perubahan iklim merupakan tantangan global yang berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk lingkungan, sosial, dan ekonomi. Fenomena seperti peningkatan suhu global, naiknya permukaan air laut, serta perubahan cuaca ekstrem menjadi ancaman nyata bagi kehidupan manusia.
Tidak hanya mempengaruhi sektor pertanian dan sumber daya alam, perubahan iklim juga berdampak pada ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, dan ekonomi lokal, khususnya di wilayah-wilayah pesisir dan daerah terpencil.
“Ditingkat lokal dampak perubahan iklim semakin nyata dengan meningkatnya frekuensi bencana alam, perubahan pola cuaca, serta berkurangnya sumber daya alam yang menopang kehidupan masyarakat,” ujarnya.
Pernyataan ini mencerminkan urgensi untuk merumuskan kebijakan yang tidak hanya responsif terhadap krisis iklim, tetapi juga adaptif terhadap kondisi lokal.
Di banyak daerah, frekuensi bencana seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan meningkat, serta memengaruhi langsung kehidupan ekonomi masyarakat, khususnya petani dan nelayan yang sangat bergantung pada kondisi alam.
Oleh karena itu, perencanaan pembangunan harus mempertimbangkan risiko iklim agar tidak menambah kerentanan masyarakat yang sudah ada.
Namun demikian, Aswini juga menggarisbawahi bahwa dampak perubahan iklim tidak dirasakan secara merata oleh semua kelompok masyarakat.
Kelompok seperti perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lainnya sering kali mengalami dampak yang lebih besar karena keterbatasan akses terhadap sumber daya, informasi, dan pengambilan keputusan. Ketimpangan ini menimbulkan keprihatinan karena memperbesar risiko sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh kelompok-kelompok tersebut di tengah bencana dan krisis iklim.
“Dalam menghadapi tantangan ini, kita harus memastikan bahwa seluruh elemen masyarakat memiliki akses yang adil dalam upaya mitigasi dan adaptasi,” sebut Aswini.
Gagasan ini mendorong pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk menyusun kebijakan yang menjamin inklusi sosial dan keadilan iklim. Inisiatif adaptasi dan mitigasi yang efektif harus mempertimbangkan kebutuhan serta peran seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali.
Akses terhadap pelatihan, pendanaan, dan pengambilan keputusan menjadi penting agar tidak terjadi ketimpangan perlindungan terhadap risiko perubahan iklim.
Menurut Aswini, perempuan sebagai bagian penting dari komunitas memiliki peran besar dalam membangun ketahanan terhadap perubahan iklim, baik di tingkat keluarga maupun masyarakat luas.
Dalam banyak kasus, perempuan memiliki pengetahuan lokal dan praktik keberlanjutan yang dapat digunakan untuk mengelola sumber daya alam secara lebih efisien. Mereka juga berperan penting dalam penyebaran informasi dan pengambilan keputusan domestik yang berpengaruh terhadap cara keluarga merespons bencana.
“Oleh karena itu keadilan gender harus menjadi bagian dari solusi yang kita rancang dan laksanakan,” tegasnya.
Pernyataan ini memperkuat komitmen untuk memasukkan perspektif gender ke dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan aksi iklim. Membangun sistem yang memperhatikan kebutuhan spesifik perempuan, termasuk akses terhadap pendidikan, teknologi, dan pendanaan adaptasi iklim, akan meningkatkan efektivitas program serta memperkuat ketahanan komunitas secara keseluruhan.
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah daerah, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas lokal untuk meningkatkan pemahaman serta mengintegrasikan perspektif gender dalam kebijakan dan program aksi iklim di daerah.
Menurutnya, pendekatan lintas sektor dapat menghasilkan strategi yang lebih inklusif, menjawab kebutuhan nyata masyarakat, dan berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.
“Saya berharap melalui sosialisasi ini, kita dapat bersinergi dalam merumuskan strategi yang lebih ekslusif dan berkelanjutan. Saya juga mengajak seluruh pihak untuk berperan aktif dalam upaya menjaga lingkungan dan membangun ketahanan daerah terhadap perubahan iklim,” ucapnya.
Pada akhir kegiatan, Aswini juga menyampaikan terima kasih kepada Yayasan Merah Putih Sulawesi Tengah dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyelenggaraan kegiatan ini.