Surabaya, gemasulawesi – Menurut laporan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur atau Jatim dikabarkan sedang menjajaki kerja sama dengan pemerintah Jepang dalam hal proyek MRT atau Mass Rapid Transit.
Pj Gubernur Jawa Timur, Adhy Karyono, mengungkapkan jika kerja sama tersebut dilakukan sama halnya dengan proyek MRT di DKI Jakarta yang juga menggandeng Jepang untuk pembangunannya dan diharapkan nantinya akan sama dengan MRT di Jakarta.
Dalam kesempatan tersebut, PJ Gubernur Jawa Timur, Adhy Karyono mengungkapkan jika selama ini, Jepang telah menanamkan investasinya di Provinsi Jawa Timur sejak tahun 2010 hingga tahun 2023.
“Tercatat jika sekitar 23 bidang usaha yang tersebar di sekitar 15 kabupaten atau kota di Provinsi Jawa Timur dengan nilai investasi yang mencapai 4.760,37 juta USD,” katanya.
Disebutkan oleh Adhy jika investasi Jepang di Jawa Timur paling besar untuk sektor industri logam dasar dan barang logam yang bukan mesin, serta peralatannya.
“Selain itu, dalam waktu dekat ini, Pemprov Jawa Timur memiliki niat untuk mempelajari disaster management, khususnya yang berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana di Osaka dan juga Tokyo, Jepang.
Baca Juga:
Mulai Timbulkan Ancaman, Dinkes Bogor Himbau Warga untuk Waspada terhadap DBD
PJ Gubernur Jawa Timur menambahkan jika pihak Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga ingin mengembangkan industri kreatif untuk bidang perfilman serta animasi.
“Itu nantinya kami akan mengkoneksikan dengan KEK Singhasari,” terangnya.
Lebih lanjut, Adhy menyampaikan jika Jepang adalah negara nomor satu yang menjadi tujuan ekspor Provinsi Jawa Timur sejak tahun 2019 lalu.
“Di tahun 2022, Jepang sempat menjadi nomor 2 untuk negara tujuan ekspor, namun, pada tahun 2023 Jepang kembali naik menjadi nomor 1,” ucapnya.
PJ Gubernur Jawa Timur menyatakan bahwa pada tahun 2023, neraca perdagangan Jawa Timur dengan Jepang mengalami surplus untuk Jawa Timur yang nilainya mencapai 1,390 juta USD.
Di sisi lain, PT KCI atau PT Kereta Commuter Indonesia sebelumnya juga sempat memaparkan alasan mereka memilih mengimpor KRL baru dari Cina dibandingkan Jepang dan Korea Selatan, yang salah satunya adalah faktor harga yang disebut lebih kompetitif. (*/Mey)