Internasional, gemasulawesi – Lingkungan Hamra di Beirut, Lebanon, menjadi salah satu tempat di masa lalu di Lebanon yang pernah menjadi saksi hari-hari kelam masa perang saudara yang meskipun kejam, namun, menyatukan orang-orang.
Hamran telah lama dipandang sebagai pusat budaya dan intelektual Timur Tengah, dan memiliki segalanya, mulai dari bioskop hingga penerbit, dan terdapat juga kafe-kafe yang berisikan orang-orang buangan dari seluruh wilayah pada tahun-tahun menjelang perang saudara di Lebanon.
Setelah perang tahun 1967, dimana Israel menduduki lebih banyak wilayah Palestina, ratusan ribu warga Palestina terpaksa mengungsi dari rumah mereka dalam gelombang pengusiran kedua setelah Nakba tahun 1948.
Baca Juga:
Penderitaan Gaza, Sejumlah Pakar Akui Kaum Lelaki Palestina Dianggap Teroris yang sedang Berkembang
Pengepungan dan agresi yang dilakukan Israel dan sekutu dalam negeri mereka, Pasukan Lebanon, terus berlanjut untuk warga Beirut Barat yang sulit melupakan apa yang dilaporkan oleh Presiden AS saat itu, Ronald Reagan, sebagai holocaust.
Banyak warga Beirut Barat yang melihat kesamaan antara kekerasan yang terjadi 42 tahun yang lalu dengan genosida yang berlangsung di Gaza.
Salah satu warga Beirut Barat yang berprofesi sebagai novelis dan mantan anggota Unit Pertahanan Sipil, Ziad Kaj, menyatakan jika satu-satunya perbedaan saat ini adalah berapa banyak orang yang meninggal karena perang.
“Saya tidak terkejut dengan taktik Israel,” akunya.
Di tahun 1982, Israel dan Pasukan Lebanon mendirikan pos pemeriksaan di sekitar Beirut Barat dan memutus aliran listrik.
Persediaan makanan, medis dan kebutuhan lainnya menjadi sangat terbatas dan langka, meskipun ada upaya untuk menyelundupkan kebutuhan pokok ke dalamnya.
Baca Juga:
Gerak Cepat Pencarian, Lebih dari 200 Orang Masih Hilang Akibat Gempa Jepang
Kaj menyampaikan jika saat itu, Beirut Barat dikepung dan tidak ada air, roti, gas, dengan hampir setiap hari pemboman dilakukan dari darat, udara dan juga air.
Sama seperti di Jalur Gaza sekarang, banyak sekali korban jiwa di Beirut sehingga dokter tidak punya waktu untuk memberikan anastesi.
Salah seorang warga Beirut yang lain, Bhakti, menerangkan jika mereka mengalami pengepungan di tahun 1982, namun, Gaza adalah genosida.
“Ini lebih buruk dari kematian,” jelasnya. (*/Mey)