Nasional, gemasulawesi - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia memberikan tanggapan resmi terhadap informasi yang menyebutkan adanya dugaan penjualan empat pulau yang berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas (KKA) melalui situs online luar negeri.
Informasi tersebut sempat menghebohkan publik setelah tersebar luas di berbagai platform media sosial dan menjadi perhatian masyarakat luas.
Menanggapi kabar tersebut, Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, pada Sabtu, 21 Juni 2025, menyatakan bahwa pihaknya sedang melakukan pendalaman terhadap kebenaran informasi tersebut.
Ia menyebut bahwa saat ini Kemendagri belum dapat memastikan pihak mana yang bertanggung jawab atas dugaan penjualan pulau secara online tersebut.
“Tapi masih kami dalami,” jelas Bima Arya dalam pernyataannya.
Lebih lanjut, Bima Arya menegaskan bahwa segala bentuk penjualan pulau, terlebih lagi jika dilakukan melalui platform digital atau situs daring, harus dilakukan sesuai dengan peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Ia menambahkan bahwa Kemendagri akan melakukan kajian menyeluruh terlebih dahulu untuk memastikan keakuratan data dan informasi yang beredar sebelum mengambil langkah atau tindakan lanjutan terkait kasus ini.
Sejauh ini, belum ada pihak yang dapat dikonfirmasi sebagai penjual dalam dugaan transaksi tersebut. Bima Arya juga tidak memberikan rincian nama situs luar negeri yang disebut telah menawarkan pulau-pulau di Kepulauan Anambas kepada publik.
Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa pihak kementerian akan mengawasi kasus ini secara ketat agar tidak berkembang menjadi isu yang merugikan kedaulatan wilayah negara.
Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Anambas juga telah menanggapi isu ini dengan tegas. Pihaknya menyampaikan bahwa tidak ada satu pun regulasi atau aturan hukum di Indonesia yang memperbolehkan jual beli pulau dilakukan secara bebas.
Pemerintah daerah setempat menolak keras segala bentuk transaksi ilegal atas aset negara, apalagi jika dilakukan secara terbuka di situs luar negeri yang tidak memiliki otoritas atas wilayah tersebut.
Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan terhadap ruang digital yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menyebarkan informasi yang belum terverifikasi dan berpotensi menimbulkan keresahan publik. (Antara)