Nasional, gemasulawesi - Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat mulai mengusut kasus dugaan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa serta pengelolaan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Dugaan tindak pidana korupsi ini ditaksir merugikan negara lebih dari Rp500 miliar.
Sebagai bagian dari proses penyelidikan, Kejari Jakarta Pusat telah melakukan penggeledahan di beberapa lokasi, termasuk Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Bogor, dan Tangerang Selatan.
Langkah ini dilakukan untuk mencari bukti yang dapat menguatkan dugaan korupsi yang terjadi dalam proyek tersebut.
"Penyidik menggeledah beberapa tempat di antaranya di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Bogor, dan Tangerang Selatan," jelas Kepala Seksi Intelijen Kejari Jakarta Pusat, Bani Immanuel Ginting, pada Jumat, 14 Maret 2025.
Berdasarkan hasil penggeledahan, penyidik menemukan dan menyita sejumlah barang bukti yang berkaitan dengan kasus ini.
Barang bukti tersebut terdiri dari dokumen-dokumen penting, uang tunai, kendaraan mobil, tanah dan bangunan, serta barang bukti elektronik yang diduga berhubungan dengan tindak pidana yang sedang diusut.
Kejari memastikan bahwa semua barang bukti tersebut akan dianalisis lebih lanjut untuk memperjelas keterlibatan pihak-pihak terkait.
Diketahui bahwa kasus ini bermula dari proyek pengadaan barang dan jasa PDNS yang dilakukan oleh Komdigi sejak tahun 2020 hingga 2024 dengan total anggaran mencapai Rp958 miliar.
Namun, dalam pelaksanaannya, ditemukan adanya praktik pengondisian lelang yang melibatkan pejabat Kominfo (sebelum berubah menjadi Komdigi) dan perusahaan swasta tertentu.
Pada tahun 2020, proyek pengadaan pertama dimenangkan oleh PT AL dengan nilai kontrak sebesar Rp60 miliar.
Kemudian, pada tahun 2022, perusahaan yang sama kembali memenangkan tender dengan nilai kontrak Rp188 miliar setelah persyaratan tertentu dihilangkan untuk mempermudah proses lelang.
Skema serupa terjadi lagi pada tahun 2023 dan 2024. Perusahaan yang sama kembali ditetapkan sebagai pemenang dalam proyek komputasi awan dengan nilai kontrak mencapai Rp350,9 miliar pada tahun 2023 dan Rp256,5 miliar pada tahun 2024.
Pola pengondisian yang berulang ini mengindikasikan adanya dugaan kolusi antara pihak perusahaan dan pejabat pemerintah terkait.
Lebih jauh, akibat dari tidak dimasukkannya pertimbangan kelaikan dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai syarat penawaran, pada Juni 2024 terjadi serangan ransomware yang menyebabkan sejumlah layanan pemerintahan lumpuh.
Insiden ini juga berakibat pada tereksposnya data pribadi penduduk Indonesia dalam skala besar, menimbulkan ancaman serius terhadap keamanan siber nasional.
Hingga saat ini, Kejaksaan belum menetapkan tersangka dalam kasus ini.
Pihak berwenang masih terus mengumpulkan bukti tambahan guna memperjelas siapa saja yang bertanggung jawab dalam dugaan tindak pidana ini. (*/Risco)