Nasional, gemasulawesi - Kasus eksploitasi anak di media sosial telah mengejutkan publik setelah terungkapnya jaringan ilegal yang melibatkan beberapa tersangka.
Kasus ini mendapatkan sorotan besar setelah Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri berhasil membongkar praktik eksploitasi anak yang dilakukan melalui platform media sosial seperti X dan Telegram.
Dalam kasus eksploitasi anak ini, polisi juga telah menetapkan beberapa orang sebagai tersangka.
Tersangka yang terlibat dalam jaringan ini terdiri dari MIR alias IM alias Sam (26), YM (26), MRP alias Alona alias Aline (39), dan CA alias Aul (19).
Dalam keterangannya, Wakil Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes. Pol. Dani Kustoni menjelaskan peran masing-masing tersangka dalam jaringan eksploitasi ini.
Tersangka MIR bertanggung jawab mengelola berbagai akun media sosial yang digunakan untuk eksploitasi anak.
Ia juga berkomunikasi dengan calon pelanggan, menentukan harga untuk talent, serta mengatur pembayaran dan distribusi keuntungan.
Tersangka YM memiliki peran sebagai admin, yang mengelola akun Telegram, memperbarui data talent, menginformasikan katalog, serta menyediakan rekening untuk pembayaran.
Sementara itu, tersangka MRP bertugas sebagai pencari dan penyedia talent, sedangkan CA berfungsi sebagai penyedia dan pembayar talent yang sudah melayani pelanggan.
Akun-akun yang terlibat dalam kasus ini mencakup ALOW DEVILS (@PREMIUMPLACEOFC), LOVANA (@WEAGENPP5_), REBORN AGAIN (@CANWGKIR), dan beberapa lainnya di platform X.
Di Telegram, akun-akun terkait termasuk CUSTOMOER SERVICE (@WeAgen_pp) dan CHANEL PREMIUM PLACE.
Dalam operasi ini, ditemukan bahwa harga untuk anak di bawah umur dalam jaringan eksploitasi tersebut berkisar antara Rp8 juta hingga Rp17 juta.
Selain itu, tersangka juga membuka grup "hidden gem" dengan tarif yang mencapai ratusan juta rupiah untuk talent.
Untuk bergabung dengan grup ini, calon anggota harus membayar deposit minimal sebesar Rp5 juta.
Tindakan ini jelas melanggar sejumlah undang-undang, seperti Pasal 45 Ayat (1) Jo Pasal 52 Ayat (1) Jo Pasal 27 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang ITE, Pasal 2 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, serta Pasal 88 Jo Pasal 76 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Bareskrim Polri menegaskan komitmennya untuk menuntaskan kasus ini dan memastikan bahwa semua pelaku mendapatkan hukuman yang sesuai.
Kasus ini menggambarkan betapa pentingnya pengawasan dan penegakan hukum yang ketat terhadap aktivitas ilegal di media sosial, serta perlunya perlindungan lebih lanjut untuk anak-anak dari berbagai bentuk eksploitasi.
Penegakan hukum yang efektif diharapkan dapat mencegah kasus serupa di masa depan dan melindungi anak-anak dari bahaya eksploitasi di dunia maya. (*/Shofia)