Internasional, gemasulawesi – Diketahui jika sejak perang antara Israel dan Palestina pecah di tanggal 7 Oktober 2023 lalu, Dewan Keamanan PBB terus menerus gagal untuk mengeluarkan resolusi terkait agresi Israel terhadap Palestina.
Selain itu, upaya damai yang diusahakan terjadi antara Israel dan Palestina juga terus gagal karena Israel secara terang-terangan menolak gencatan senjata.
Dikatakan jika terdapat 4 faktor yang menghambat upaya damai antara Palestina dan Israel.
Baca: Ada 4 Poin, MUI Keluarkan Fatwa Dukung Agresi Israel ke Tanah Palestina Hukumnya Haram
Faktor yang pertama, Israel yang tidak patuh aturan.
Pengamat hubungan internasionak dari Universitas Muhammadiyah Riau, Fahmi Salsabila menilai jika upaya damai kerap terhambat karena Israel yang tidak mematuhi aturan.
“Perdamaian buntu karena Israel selalu tidak mematuhi aturan dan juga tidak adanya itikad baik dari negara Barat, terutama AS,” katanya.
Baca: Deklarasikan Komite Palestina Bersama Kyai NU, Cak Imin Sebut Merupakan Komitmen Bangsa Indonesia
Selain itu, menurutnya, Israel juga selalu melanggar perjanjian dan tidak mau mematuhi resolusi PBB dan hukum internasional.
Untuk faktor yang kedua adalah tidak adanya sosok negarawan yang seharusnya muncul antara Israel dan Palestina.
Disebutkan sosok negarawan yang dimaksud merupakan orang-orang yang berani mengambil resiko di tengah konflik yang terus terjadi.
Diketahui jika di tahun 2013 merupakan perundingan solusi 2 negara yang terakhir.
Saat itu, solusi 2 negara nyaris terjadi setelah PM Israel Ehud Barak bertemu dengan Otoritas Palestina Yasser Arafat di Kamp Davis dengan AS yang menjadi mediatornya.
Namun, solusi ini gagal karena mendapatkan tentangan berbagai pihak di masing-masing wilayah.
Faktor yang keempat yang juga banyak dibicarakan saat ini adalah komunitas internasional yang pasif.
Meski solusi 2 negara memang disepakati oleh masyarakat internasional, tetapi banyak negara di dunia yang tidak melakukan peran aktifnya lebih jauh.
Sekjen PBB, Antonios Gutters, juga tidak memainkan peran yang lebih banyak dan AS serta Uni Eropa juga tidak tertarik untuk mendorong terjadinya perundingan solusi 2 negara.
Faktor yang terakhir adalah penolakan dari kelompok radikal.
Diketahui jika situasi politik di dalam negeri masing-masing juga menjadi hambatan untuk solusi yang diinginkan.
Di Israel, di pemerintahan Benjamin Netanyahu, kelompok sayap kanan mendominasi Israel dan tidak tertarik dengan solusi 2 negara.
Sedangkan di Palestina muncul kelompok yang lebih ingin menghancurkan Israel dibandingkan menyetujui solusi 2 negara. (*/Mey)