Nasional, gemasulawesi - Taufik Umar mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan di Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonannya, ia mengusulkan agar data mengenai agama pada KTP dan kartu keluarga tidak lagi ditampilkan secara terbuka.
Taufik menilai pencantuman agama dalam KTP dan KK tidak membawa manfaat, bahkan justru berlawanan dengan tujuan perlindungan warga negara.
Ia menyebut informasi tersebut kerap menjadi pemicu terjadinya diskriminasi dan tindakan kekerasan terhadap individu atau kelompok tertentu.
Baca Juga:
Keluarga Desak Polisi Ungkap Motif Pembunuhan Kepala Cabang Bank di Jakarta
Karena itu, menurutnya, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) dan (4) UUD 1945 yang menjamin hak asasi dan perlindungan terhadap warga negara.
Santiamer Silalahi, kuasa hukum pemohon, mengatakan, “Pemohon tidak menolak pentingnya data agama untuk keperluan hukum, pelayanan, dan sebagainya, tetapi hanya meminta agar data agama tidak dicantumkan di KTP dan KK.”
Pemohon berpendapat bahwa informasi agama sebaiknya cukup tersimpan dalam chip KTP elektronik tanpa perlu dicetak secara visual.
Menurutnya, data tersebut seharusnya diperlakukan sebagai informasi sensitif, seperti data biometrik iris mata atau sidik jari.
Baca Juga:
IHSG Menguat Didukung Perkembangan Positif Negosiasi Dagang AS-China dan Stimulus Ekonomi Nasional
Dengan mekanisme itu, informasi agama hanya bisa diakses oleh instansi atau pihak yang memang memiliki otoritas dan kewenangan resmi dalam menjalankan tugasnya.
Dalam sidang sebelumnya, pemohon menceritakan pernah mengalami diskriminasi, bahkan nyaris menjadi korban kekerasan dalam konflik antaragama yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, beberapa tahun lalu.
Kuasa hukumnya, Teguh Sugiharto, menjelaskan, “Dalam perjalanan dari Poso menuju Palu, Taufik Umar beberapa kali menghadapi pemeriksaan KTP. Saat itu, ia melihat banyak orang menjadi korban kekerasan, bahkan pembunuhan, hanya karena identitas agama mereka yang tercantum di KTP baik oleh pelaku dari kelompok Muslim maupun Kristen.”
Dalam perkara dengan nomor registrasi 155/PUU-XXIII/2025 ini, pemohon mengajukan keberatan terhadap ketentuan dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan.
Baca Juga:
Gantikan Beny Suharsono, Ni Made Jadi Sekda Perempuan Pertama DIY
Pasal 61 ayat (1) mengatur bahwa Kartu Keluarga (KK) memuat sejumlah informasi, termasuk nomor KK, nama kepala keluarga dan anggota keluarganya, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat dan tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, serta nama orang tua.
Sementara itu, Pasal 64 ayat (1) menyebutkan bahwa KTP elektronik (KTP-el) menampilkan lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Indonesia, serta mencantumkan data penduduk seperti NIK, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal penerbitan KTP-el, serta tanda tangan pemilik.
Dalam permohonannya ke Mahkamah Konstitusi, pemohon meminta agar kedua pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sepanjang kata “agama” dan “kepercayaan” masih tetap dicantumkan. (*/Zahra)