Hukum, gemasulawesi - Seorang perwira tinggi kepolisian kembali tersandung kasus berat.
Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman (FWLS), resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak asusila terhadap anak di bawah umur.
Polri memastikan bahwa penyelidikan berjalan secara transparan dan tanpa toleransi terhadap pelanggaran hukum.
Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, Karo Penmas Divisi Humas Polri, menegaskan bahwa kasus ini diproses dengan pendekatan hukum yang ketat.
"Polri berkomitmen menindak tegas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh personel, terutama yang menyangkut perlindungan anak," ujarnya, dikutip pada Jumat, 14 Maret 2025.
Penyelidikan mengungkap bahwa FWLS diduga melakukan tindak asusila terhadap tiga anak berusia 6, 13, dan 16 tahun, serta seorang perempuan dewasa berinisial SHDR (20).
Selain itu, tersangka juga diduga terlibat dalam penyebaran konten terlarang dan penyalahgunaan narkoba.
Brigjen Pol. Himawan Bayu Aji, Dir Tipid Siber Bareskrim Polri, mengungkapkan bahwa barang bukti berupa tiga unit ponsel telah diamankan untuk pemeriksaan digital forensik.
"Dari hasil penyelidikan, ditemukan indikasi penyebaran konten asusila melalui dark web," jelasnya.
Sejak 24 Februari 2025, FWLS telah menjalani proses kode etik di Divisi Propam Polri.
Karowabprof Divisi Propam Polri, Brigjen Pol. Agus Wijayanto, menyebutkan bahwa sidang etik akan digelar pada 17 Maret 2025, dengan ancaman sanksi berat.
"Perbuatannya termasuk pelanggaran berat, sehingga ada kemungkinan sanksi pemecatan tidak dengan hormat (PTDH)," ujarnya.
Selain sidang etik, FWLS juga menghadapi ancaman pidana dengan pasal berlapis.
Ia dijerat dengan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Pasal 45 ayat 1 junto Pasal 27 ayat 1 UU ITE No. 1 Tahun 2024. Jika terbukti bersalah, ia bisa dihukum hingga 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan transparan dan profesional.
Irjen Pol. (Purn.) Ida Utari dari Kompolnas menegaskan bahwa pihaknya mengawasi jalannya penyidikan agar tidak ada hambatan dalam proses hukum.
Di sisi lain, berbagai lembaga seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Sosial, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) turut memberikan pendampingan kepada korban.
Ketua KPAI, Aimariati Solihah, menegaskan bahwa pemulihan psikologis korban menjadi prioritas utama.
“Kami bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memastikan korban mendapat pendampingan psikologis dan hukum yang diperlukan,” ujarnya.
Penyidikan kasus ini dilakukan dengan metode scientific crime investigation untuk memastikan semua bukti diuji secara akademis. Berbagai ahli dari bidang psikologi, kejiwaan, dan hukum turut dilibatkan.
“Polri menangani kasus ini dengan cermat sesuai prosedur hukum yang berlaku agar keadilan bagi korban benar-benar terwujud,” kata Brigjen Trunoyudo.
Sebagai langkah selanjutnya, Polda NTT bersama Bareskrim Polri kini tengah melengkapi berkas perkara sebelum dilimpahkan ke pengadilan.
Polri menegaskan bahwa tidak ada ruang bagi pelanggar hukum di institusinya, terutama yang menyangkut kejahatan terhadap anak.
“Kami akan menyelesaikan kasus ini dengan profesional, transparan, dan akuntabel. Tidak ada toleransi bagi tindak pidana semacam ini,” tegas Brigjen Trunoyudo.
Baca Juga:
Pasukan Penjajah Israel Tembaki Rumah-Rumah Warga Palestina di Kota Gaza
Masyarakat diimbau untuk terus mengikuti perkembangan kasus ini demi memastikan keadilan bagi para korban. (*/Shofia)