Jember, gemasulawesi - Sebuah keluhan dari warga di Jember terkait dengan lonjakan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang mencapai Rp900 ribu rupiah per meter persegi untuk lahan sawah mereka telah menjadi perbincangan hangat dan viral di berbagai media sosial.
Kasus ini menggambarkan ketidakadilan yang dirasakan oleh pemilik lahan pertanian di Jember, yang menghadapi kewajiban pajak yang sangat tinggi untuk lahan-lahan yang digunakan untuk pertanian skala kecil.
Pada tahun 2016, warga Lingkungan Muktisari, Kelurahan Tegal Besar, Jember, hanya membayar sekitar Rp435 ribu untuk PBB atas lahan sawah dengan ukuran tertentu.
Namun, pada tahun 2024, jumlah yang harus mereka bayar meningkat drastis menjadi Rp900 ribu per meter persegi.
Baca Juga:
Yuk Menyelami Pesona Pantai Klatak dengan Batuan Unik dan Jembatan Cinta sebagai Ikon Wisata!
Lonjakan ini mengejutkan banyak warga, terutama karena sebagian besar dari mereka mengandalkan hasil pertanian seperti padi dan jagung sebagai mata pencaharian utama.
Hadis, salah seorang pemilik lahan sawah di Jember, mengutarakan kekecewaannya terhadap kebijakan ini.
Meskipun beberapa warga telah mengajukan keberatan kepada Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jember, mereka tetap dihadapkan pada kewajiban untuk membayar pajak yang telah ditetapkan.
Keluhan ini mencerminkan frustrasi warga terhadap penilaian NJOP yang tinggi dan dampaknya yang signifikan terhadap kestabilan ekonomi mereka.
Lurah Tegal Besar, Tomas Heru Indra, menanggapi keluhan ini dengan mengimbau warga untuk berkomunikasi langsung dengan Bapenda guna mendapatkan penjelasan lebih lanjut mengenai penilaian dan tarif pajak yang diterapkan.
Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan memfasilitasi dialog terbuka antara pemerintah daerah dan masyarakat terkait kebijakan perpajakan yang diterapkan.
Kenaikan drastis dalam tarif PBB untuk lahan sawah di Jember memunculkan pertanyaan tentang keadilan dalam sistem perpajakan.
Meskipun pendapatan daerah penting untuk pembangunan infrastruktur dan layanan publik, peningkatan NJOP yang tidak mempertimbangkan kondisi riil masyarakat petani dapat mengakibatkan beban yang tidak proporsional bagi mereka.
Hal ini menyoroti perlunya pendekatan yang lebih sensitif dan inklusif dalam merumuskan kebijakan perpajakan yang mempertimbangkan berbagai kepentingan masyarakat.
Untuk menyelesaikan kontroversi ini, diperlukan pendekatan kolaboratif antara pemerintah daerah, warga, dan pemangku kepentingan lainnya.
Langkah-langkah ini mencakup evaluasi yang cermat terhadap penilaian NJOP, penyediaan mekanisme yang lebih efektif untuk mengajukan keberatan pajak, serta pemahaman yang lebih baik tentang dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan perpajakan yang diterapkan.
Kasus kenaikan tarif PBB hingga mencapai Rp900 ribu per meter persegi untuk lahan sawah di Jember telah menarik perhatian luas di masyarakat dan media sosial.
Warga, yang terkejut dengan kewajiban pajak yang tinggi ini, menginginkan keadilan dalam penilaian NJOP yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Beragam komentar warganet pun bermunculan menanggapi viralnya keluhan warga tersebut.
"Bukannya disupport malah dipalakkan, astaghfirullah. Gimana mau makmur para petani Indo," komentar akun @sab***. (*/Shofia)