Nasional, gemasulawesi - Tingginya angka pengangguran di kalangan Generasi Z menjadi sorotan yang semakin mendalam dalam dunia ekonomi Indonesia. Tanggapan Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Suahasil Nazara pun menjadi sorotan.
Dimana Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Suahasil Nazara, baru-baru ini menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak dari hampir 10 juta Generasi Z yang menganggur.
Salah satu aspek yang ditekankan Wamenkeu Suahasil Nazara adalah potensi terganggunya penerimaan negara, khususnya dalam bentuk pajak penghasilan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, terdapat sekitar 9,9 juta penduduk usia muda (15-24 tahun) yang tidak terlibat dalam kegiatan pendidikan, pekerjaan, dan pelatihan (NEET) di Indonesia.
Mayoritas dari mereka adalah Generasi Z, yang seharusnya sedang berada di masa produktif. Generasi Z lahir antara tahun 1997 hingga 2012, sehingga saat ini berusia antara 12 hingga 27 tahun.
"Karena itu, kita ingin mendorong agar elemen masyarakat dapat aktif di dunia kerja, sehingga dapat menghasilkan pendapatan dan juga memberikan kontribusi bagi kesejahteraannya sendiri," ujar Suahasil di Jakarta.
Namun, respons pemerintah terhadap masalah ini mendapat sorotan negatif dari beberapa pihak.
Warga menilai bahwa pernyataan-pernyataan resmi lebih berfokus pada aspek fiskal semata, tanpa memberikan solusi konkrit yang dapat mengatasi masalah pengangguran ini secara efektif.
Dalam sebuah komentar yang mengemuka, terdapat kekecewaan atas fokus pemerintah yang dianggap terlalu banyak pada potensi penerimaan pajak.
"Aku rasa negara nggak begitu peduli dengan kesejahteraan anak muda, mereka lebih fokus ke pajak yang bisa mereka kumpulkan," ujar akun @sub***.
Sebaliknya, seharusnya pemerintah lebih memusatkan perhatian pada upaya menciptakan lapangan kerja yang memadai bagi Generasi Z.
"Yang dipikiran cuma pajak, bukan solusi bagaimana mereka bisa sekolah atau kerja," tulis akun @MNu***.
Hal ini penting untuk memberikan mereka kesempatan nyata dalam dunia kerja dan membangun kemandirian finansial.
Bukan hanya itu, kebijakan ekonomi yang dinilai belum efektif juga menjadi sasaran kritik.
Warga menyayangkan bahwa kebijakan-kebijakan yang ada cenderung tidak mampu menggerakkan sektor-sektor yang dapat memberikan pekerjaan kepada Generasi Z, seperti sektor kreatif, teknologi, dan industri kreatif.
Salah satu aspek yang juga disoroti adalah kurangnya insentif bagi perusahaan untuk merekrut Generasi Z.
Dalam era di mana keahlian digital dan kreatif semakin bernilai, perusahaan-perusahaan perlu didorong untuk memberikan kesempatan kepada Generasi Z yang memiliki potensi besar namun seringkali menghadapi kendala dalam memasuki dunia kerja.
Tidak hanya soal lapangan kerja, masalah pendidikan dan pelatihan juga menjadi perhatian. Banyak yang merasa bahwa sistem pendidikan saat ini belum mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang siap terjun ke dunia kerja.
Diperlukan penyesuaian kurikulum dan peningkatan kualitas pelatihan agar Generasi Z memiliki keahlian yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja saat ini dan mendatang.
Sementara itu, beberapa komentar juga mengkritik kurangnya dukungan pemerintah terhadap kewirausahaan di kalangan Generasi Z.
Program-program yang mendorong inovasi dan kreativitas, serta memberikan akses kepada pembiayaan yang terjangkau bagi para pengusaha muda, dianggap masih minim. (*/Shofia)