Bali, gemasulawesi - Baru-baru ini, kasus kepemilikan tanah oleh warga negara asing di Bali telah marak dan menjadi sorotan di media sosial, menimbulkan kekhawatiran di berbagai kalangan.
Fenomena ini mencerminkan adanya praktik kontroversial di mana warga negara asing menggunakan nama warga negara Indonesia untuk mengklaim hak atas tanah di Bali.
Masalah kepemilikan tanah WNA di Bali ini tidak hanya viral di media sosial tetapi juga memicu berbagai reaksi dari masyarakat dan pejabat terkait.
Kasus ini mulai menarik perhatian luas setelah ditemukan bahwa beberapa warga negara asing memanfaatkan nama lokal untuk memperoleh tanah di Bali.
Hal ini menimbulkan kepanikan dan kemarahan di kalangan penduduk lokal yang khawatir akan kehilangan hak atas tanah mereka serta dampak negatif terhadap keaslian budaya Bali yang kaya dan unik.
Anggota Komisi II DPR RI, Cornelis, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap situasi ini saat memimpin Tim Kunjungan Komisi II DPR ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Gianyar, Bali.
Ia menekankan bahwa pengawasan ketat terhadap penguasaan tanah oleh pihak asing sangat penting untuk melindungi hak-hak penduduk lokal.
"Pengawasan terhadap penguasaan tanah oleh asing harus diperketat. Kita harus benar-benar memastikan bahwa tanah-tanah ini nentinya tidak dialihfungsikan menjadi gedung atau hotel yang justru akan menggusur penduduk lokal," ujar Cornelis.
Ia juga menyoroti pentingnya perlindungan terhadap kawasan pesisir Bali dari dampak perubahan iklim seperti kenaikan suhu bumi dan peningkatan air laut.
Selain itu, Guspardi Gaus, anggota Komisi II lainnya, juga menambahkan bahwa reforma agraria harus fokus pada keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
"Penting untuk melakukan penataan kembali struktur penguasaan tanah demi kemakmuran rakyat. Kita juga harus memastikan bahwa tanah tetap dimiliki oleh rakyat dan tidak jatuh ke tangan asing yang bisa membeli dengan harga murah," ujarnya.
Lebih lanjut Guspardi menyoroti terkait fenomena "kampung asing," seperti Kampung Rusia di Bali, yang dianggap dapat mengancam keaslian budaya lokal.
"Jika hal ini masih terus terjadi, Bali malah bisa kehilangan identitas budayanya. Oleh karena itu kami meminta BPN untuk mengawasi agar tanah di Bali tidak tergadai kepada pihak asing. Masalah ini harus segera diatasi dengan serius," tegasnya.
Kekhawatiran yang berkembang mencerminkan kebutuhan mendesak untuk tindakan nyata dalam pengawasan dan penegakan hukum terkait kepemilikan tanah.
Pengawasan yang ketat serta tindakan tegas dari pemerintah diperlukan untuk melindungi hak-hak penduduk lokal, menjaga keaslian budaya Bali, dan memastikan keberlanjutan lingkungan di tengah arus globalisasi dan investasi asing.
Penanganan yang efektif terhadap kasus-kasus ini diharapkan dapat mencegah kerusakan lebih lanjut dan memastikan bahwa perkembangan investasi di Bali tetap selaras dengan perlindungan hak-hak masyarakat dan pelestarian budaya setempat. (*/Shofia)
 
             
                                     
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                  
                                  
                                  
                                  
                                  
                     
                     
                     
                                         
                                