Nasional, gemasulawesi - Keputusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang membebaskan Gregorius Ronald Tannur dari segala dakwaan dalam kasus penganiayaan hingga tewasnya pacarnya, Dini Sera Afrianti, memicu kontroversi dan kemarahan di masyarakat.
Ronald, yang merupakan anak dari mantan anggota DPR RI, Edward Tannur, dinyatakan tidak bersalah meskipun terdapat sejumlah bukti yang memberatkan.
Keputusan dibebaskannya Ronald ini menjadi sorotan utama, dan Kejaksaan Agung (Kejagung) pun akhirnya angkat bicara.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, mengkritik keras keputusan majelis hakim yang dianggapnya janggal dan tidak sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan.
Harli menilai bahwa hakim tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU), termasuk rekaman CCTV yang menunjukkan Ronald melindas korban serta hasil visum yang menunjukkan bahwa Dini Sera meninggal akibat luka-luka.
"Putusan ini sangat penuh kejanggalan dan tidak berdasar. Hakim tidak menerapkan hukum sesuai ketentuan dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan tidak dipertimbangkan. Dalam hal ini justru majelis hakim mengambil pertimbangan yang berlandaskan pada pemikiran mereka sendiri," ujar Harli di Kejagung, Jakarta Selatan, Jumat, 26 Juli 2024.
Ia juga menyoroti bahwa tidak adanya saksi langsung yang melihat Ronald melakukan tindak pidana tersebut seharusnya tidak menjadi alasan untuk mengabaikan bukti-bukti lain yang sah.
Harli menegaskan bahwa keputusan hakim yang menyatakan Ronald telah memberikan pertolongan kepada korban dengan membawa korban ke rumah sakit seharusnya tidak menjadi dasar pembebasan.
"Ini merupakan faktor yang meringankan, bukan pemenuhan unsur utama dalam kasus tersebut. Tindakan membantu korban seharusnya tidak bisa dijadikan alasan majelis hakim untuk pembebasan tersangka," ujarnya.
Harli menambahkan bahwa tindakan memberikan bantuan pernapasan seharusnya hanya dipertimbangkan sebagai faktor yang meringankan hukuman, bukan sebagai alasan untuk membebaskan terdakwa dari semua dakwaan.
Kejagung juga menyoroti kejanggalan dalam keputusan yang tidak mempertimbangkan banyak lapisan dakwaan seperti penganiayaan.
Harli menjelaskan bahwa meskipun jaksa penuntut umum sudah berupaya maksimal dan menuntut hukuman 12 tahun penjara, banyak aspek dakwaan tidak dipertimbangkan dalam keputusan akhir.
"Dakwaan terhadap Ronald mencakup berbagai lapisan kejahatan, akan tetapi malah tidak ada yang dikenakan. Jaksa sudah berupaya dan menuntut tersangka 12 tahun penjara," tambahnya.
Sebagai langkah tindak lanjut, Kejagung berencana untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
"Kami akan segera mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung sebagai tindak lanjut. Saat ini, kami sedang mempersiapkan administrasi termasuk salinan putusan dari pengadilan. Kami memerlukan waktu 14 hari setelah putusan untuk melakukan kajian," jelas Harli.
Keputusan PN Surabaya yang dibacakan pada Rabu, 24 Juli 2024 memutuskan bahwa Gregorius Ronald Tannur tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan atau penganiayaan.
Hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah dan menilai bahwa Ronald telah berupaya memberikan pertolongan dengan membawa korban ke rumah sakit.
Kejaksaan Agung berharap proses kasasi dapat mengoreksi keputusan ini agar keadilan dapat ditegakkan sesuai dengan hukum dan fakta yang ada. (*/Shofia)