Nasional, gemasulawesi - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk merevisi ketentuan hukuman pidana terkait perintangan penyidikan.
Ia mengusulkan agar ketentuan tersebut diubah dari ancaman minimal tiga tahun penjara menjadi ancaman maksimal tiga tahun penjara.
Hasto mengajukan uji materi terhadap konstitusionalitas Pasal 21 dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perkara tersebut telah terdaftar di Mahkamah Konstitusi dengan nomor registrasi 136/PUU-XXIII/2025.
Baca Juga:
Indonesia-Kazakhstan Tinjau Kebijakan Bebas Visa dan Perkuat Kerja Sama Hukum
“Menurut kami, ancaman pidana bagi pelanggaran Pasal 21 UU Tipikor seharusnya disamakan dengan hukuman terendah yang diatur dalam UU Tipikor, yaitu sebagaimana tercantum di Pasal 13, dengan ancaman paling lama tiga tahun penjara,” ujar kuasa hukum Hasto, Erna Ratnaningsih.
Hasto berpendapat bahwa penerapan Pasal 21 UU Tipikor selama ini kerap diartikan secara tidak proporsional.
Menurutnya, hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menjunjung keadilan sebagaimana diatur dalam konstitusi.
Ia menilai Pasal 21 UU Tipikor tidak seharusnya ditafsirkan hanya berdasarkan kepentingan aparat penegak hukum.
Baca Juga:
Gerebek Beberapa Rumah, Pasukan Penjajah Israel Dilaporkan Menyerbu Desa al-Tuwani di Masafer Yatta
Menurutnya, tafsir atas pasal tersebut perlu dibatasi agar tetap selaras dengan bunyi dan maksud yang tercantum dalam teks aslinya.
Dengan begitu, penerapannya diharapkan mampu menciptakan akuntabilitas yang jelas.
Pasal yang dipersoalkan Hasto memuat ketentuan bahwa siapa pun yang dengan sengaja, baik secara langsung maupun tidak langsung, mencegah, menghalangi, atau menggagalkan proses penyidikan, penuntutan, maupun persidangan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara korupsi, dapat dijatuhi hukuman penjara antara 3 hingga 12 tahun dan/atau denda antara Rp150 juta hingga Rp600 juta.
Menurut Hasto, jika mengacu pada teksnya, Pasal 21 UU Tipikor hanya dapat digunakan untuk menjerat orang yang secara sengaja melakukan tindakan pencegahan, penghalangan, atau penggagalan proses hukum sebagaimana dimaksud, baik di tahap penyidikan, penuntutan, maupun persidangan terhadap pihak yang berstatus tersangka, terdakwa, atau saksi.
Baca Juga:
Polda Sumsel Latih 180 Personel Hadapi Karhutla Jelang Musim Kemarau
Atas dasar itu, ia berpandangan pasal tersebut tidak tepat dipakai untuk menetapkan tersangka atau mendakwa pelaku tindak pidana korupsi.
Lebih jauh, Hasto beranggapan bahwa ancaman pidana minimal tiga tahun dan maksimal 12 tahun yang tercantum di pasal itu terbilang berlebihan jika diterapkan pada kasus perintangan penyidikan yang dilakukan dalam bentuk suap.
Perbandingan yang ia sampaikan, hukuman bagi pemberi hadiah atau janji sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU Tipikor adalah satu hingga lima tahun penjara.
Sedangkan jika menghalangi perbuatan memberi hadiah atau janji yang dilarang Pasal 13 UU Tipikor, ancaman hukumannya paling lama tiga tahun.
Baca Juga:
Pemerintah Siapkan SKB Baru Tetapkan 18 Agustus 2025 sebagai Libur Nasional Tambahan
“Ketidakadilan seperti ini jelas tidak bisa diterima,” tegas kuasa hukumnya, Erna.
Agar Pasal 21 tidak berubah menjadi alat hukum yang bersifat balas dendam berlebihan, Hasto mengajukan argumentasi bahwa ancaman pidana minimumnya sebaiknya disamakan dengan ketentuan Pasal 13 UU Tipikor.
Dalam permohonannya, ia meminta Mahkamah Konstitusi menafsirkan Pasal 21 UU Tipikor sehingga berbunyi:
"Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mencegah, menghalangi, atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi perkara korupsi melalui kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji memberi keuntungan yang tidak patut, dipidana dengan hukuman penjara paling lama tiga tahun dan/atau denda antara Rp150.000.000,00 hingga Rp600.000.000,00."
Ia juga meminta MK menetapkan bahwa frasa “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan” harus dimaknai secara kumulatif. Artinya, perbuatan mencegah, menghalangi, atau menggagalkan baru dapat dikenakan pasal ini jika dilakukan pada seluruh tahap proses hukum tersebut.
Sebelum memperoleh amnesti dari Presiden Prabowo Subianto dan keluar dari tahanan, Hasto sempat menjadi terdakwa dalam kasus dugaan perintangan penyidikan dan gratifikasi terkait pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku.
Dalam putusannya, majelis hakim Pengadilan Tipikor di PN Jakarta Pusat menyatakan Hasto tidak terbukti melakukan perintangan penyidikan.
Namun, ia dinyatakan bersalah terlibat dalam pemberian suap, sehingga dijatuhi vonis tiga tahun enam bulan penjara serta denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan. (*/Zahra)