Nasional, gemasulawesi - Sikap Presiden RI Prabowo Subianto yang menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi menjadi perhatian publik, termasuk dari kalangan pejabat tinggi negara.
Dalam sebuah wawancara bersama tujuh jurnalis senior yang berlangsung di kediaman pribadinya di Hambalang, Kabupaten Bogor, pada Minggu 6 April 2025, Presiden Prabowo menjelaskan alasan utama ketidaksetujuannya terhadap hukuman mati.
Menurutnya, eksekusi mati bersifat final dan tidak memberikan ruang koreksi apabila di kemudian hari ditemukan adanya kekeliruan dalam proses hukum.
"Hukuman mati itu final dan kita tidak bisa hidupkan dia kembali. Meski kita yakin dia 99,9 persen bersalah, mungkin saja ada satu masalah ternyata dia korban atau di-frame," jelas Prabowo pada sesi wawancara waktu itu.
Pernyataan Presiden Prabowo ini kemudian mendapatkan respons dari Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra.
Menurut Yusril, pandangan Presiden Prabowo tersebut mencerminkan sikap kenegarawanan yang menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dalam proses hukum dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan.
Ia menilai, dalam konteks penegakan hukum yang berkeadilan, tidak semestinya seorang kepala negara mengambil langkah ekstrem yang justru dapat menimbulkan ketidakadilan yang lebih besar jika terdapat kesalahan dalam vonis.
Lebih lanjut, Yusril menjelaskan bahwa walaupun pengadilan menyatakan seorang terdakwa bersalah dengan tingkat keyakinan sangat tinggi, tetap saja selalu ada kemungkinan kecil bahwa seseorang tersebut tidak bersalah.
Maka dari itu, Presiden Prabowo, menurutnya, tidak berbicara sebagai seorang penegak hukum atau hakim, melainkan sebagai seorang pemimpin bangsa yang mempertimbangkan sisi moral dan kemanusiaan secara menyeluruh.
"Sebagai Presiden, beliau tidak ingin melaksanakan hukuman mati terhadap narapidana mana saja dan kasus apa saja," ujar Menko Yusril pada Selasa 8 April 2025.
Yusril juga menegaskan bahwa penolakan Presiden terhadap hukuman mati ini sah dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, memang terdapat ketentuan mengenai hukuman mati, tetapi hanya dalam kondisi tertentu dan menjadi kewenangan hakim untuk memutuskannya.
Oleh karena itu, sikap Presiden yang tidak setuju eksekusi mati tetap berada dalam koridor hukum positif dan lebih merupakan pilihan moral serta politik seorang kepala negara dalam memimpin dan mengambil kebijakan. (*/Risco)