Nasional, gemasulawesi - Kritikus politik Faizal Assegaf menilai bahwa Menteri Kehutanan (Menhut) RI, Raja Juli Antoni, telah melakukan praktik kolusi secara berjamaah.
Tuduhan ini muncul setelah Raja Juli diketahui menunjuk sejumlah kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ke dalam Operation Management Office (OMO) Indonesia Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030.
Kolusi sendiri didefinisikan sebagai kerja sama rahasia yang melanggar hukum demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, yang sering kali merugikan masyarakat dan negara.
Dalam kasus ini, penunjukan kader PSI ke dalam struktur OMO Indonesia FOLU Net Sink 2030 didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 234 Tahun 2024. Keputusan ini resmi diterbitkan pada 31 Januari 2025.
Banyak pihak mempertanyakan keputusan Raja Juli Antoni tersebut, mengingat ia saat ini juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PSI.
Pengangkatan kader PSI ke dalam lembaga terkait menimbulkan kecurigaan publik mengenai adanya konflik kepentingan dalam pengelolaan organisasi tersebut.
Beberapa kritik bahkan menyebut bahwa tindakan ini lebih mengarah pada pembagian jabatan berdasarkan kedekatan politik ketimbang meritokrasi.
Faizal Assegaf secara terang-terangan menyebut bahwa Raja Juli telah melakukan kolusi dengan kader PSI untuk mengamankan posisi dan keuntungan tertentu.
Menurutnya, keputusan tersebut menunjukkan adanya upaya sistematis dalam memanfaatkan kekuasaan guna menguntungkan kelompok tertentu.
"Raja Juli selaku Menhut tertangkap basah melakukan kolusi berjamaah dengan politisi kardusan PSI. Kawanan hena lapar hasil ternakan Mulyono, tampil rakus menguras uang rakyat dengan modus bagi2 jatah jabatan," tulis Faizal Assegaf dalam cuitan di akun X resminya @faizalassegaf pada Senin, 10 Maret 2025.
Cuitan tersebut kemudian memicu berbagai reaksi dari warganet yang turut mempertanyakan transparansi dalam proses pengangkatan jabatan di lembaga negara.
Banyak yang menilai bahwa fenomena ini semakin menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia lebih banyak diwarnai oleh praktik bagi-bagi kekuasaan ketimbang kepentingan rakyat.
"Demokrasi Indonesia: Mengejar kekuasaan untuk mengeruk kekayaan. Kelompok pemenang rame-rame tempati posisi apapun dalam meraih tahta untuk menggapai harta. Segala cara dihalalkan untuk menguras kekayaan negara, dengan cara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme," tulis balasan dari akun @joh***.
Pernyataan tersebut mencerminkan kekhawatiran sebagian masyarakat mengenai praktik politik di Indonesia, di mana posisi strategis dalam pemerintahan sering kali diisi oleh orang-orang yang memiliki keterkaitan politik dengan pejabat berwenang, bukan berdasarkan kompetensi dan integritas. (*/Risco)