Jawa Tengah, gemasulawesi - Tanah warisan Mbah Siyem di Desa Karangasem, Grobogan, Jawa Tengah, menjadi pusat perhatian setelah kepemilikannya berubah secara tak terduga.
Sebuah kisah yang mencerminkan kompleksitas masalah hukum pertanahan di Indonesia, di mana keadilan seringkali sulit diwujudkan bagi masyarakat kecil seperti Mbah Siyem ini.
Mbah Siyem, seorang petani yang hidup dari tanah yang diwariskan oleh orang tuanya, harus menghadapi situasi yang tak terbayangkan.
Tanah seluas 1,7 hektar di Dusun Sarip, Desa Karangasem, yang menjadi mata pencaharian dan warisan bagi keluarga Siyem, tiba-tiba berubah kepemilikan.
"Saya hanya seorang yang kecil, ingin memperjuangkan hak-hak kami. Saya bersumpah demi Allah, kami tidak pernah menjual tanah warisan dari ayah kami," ujar Mbah Siyem.
Klaim dari Pemdes Karangasem bahwa tanah tersebut dibeli pada tahun 1970, meskipun ayah Mbah Siyem telah meninggal pada 1965, menimbulkan pertanyaan besar tentang keabsahan kepemilikan.
Lutfiansyah mengungkap jika pihak Pemdes Karangasem sampai saat ini tidak bisa menunjukkan bukti transaksi jual beli tanah itu.
"Hingga saat ini, Pemdes Karangasem belum mampu menghadirkan bukti transaksi jual beli tanah tersebut. Dugaan kuat terdapat penyimpangan selama proses penyertifikatan. Selain itu, ahli waris juga tidak pernah mengaku menjual tanah tersebut. Kami menduga telah terjadi pelanggaran hukum yang cukup serius. Proses peralihan hak milik tidak transparan dan tidak berdasarkan hukum, serta melibatkan tahapan yang tidak jelas yang mengakibatkan kerugian bagi hak-hak individu, dalam hal ini klien kami," jelas Lutfiansyah.
Upaya mediasi dan proses hukum telah dilakukan, namun keadilan bagi keluarga Siyem masih jauh dari kata tercapai.
Pengacara keluarga, M Amal Lutfiansyah, menggambarkan betapa rumitnya sistem hukum pertanahan yang sering kali tidak berpihak kepada masyarakat kecil.
Pihak Pemdes Karangasem tetap bersikukuh dengan klaim kepemilikan mereka, meskipun fakta-fakta sejarah menunjukkan sebaliknya.
"Letter C" yang semula dimiliki oleh ayah Mbah Siyem, Kasman, mendadak berubah kepemilikan menjadi milik Pemdes Karangasem pada 2022 melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian dan kejanggalan dalam proses peralihan kepemilikan tanah tersebut.
Para ahli hukum dan aktivis pertanahan menganggap kasus ini sebagai cerminan dari masalah yang lebih besar di Indonesia, yaitu kurangnya perlindungan hukum bagi masyarakat kecil terkait hak kepemilikan tanah.
Mereka menekankan perlunya penegakan hukum yang berkeadilan dan transparan dalam hal pertanahan, serta dorongan untuk melakukan reformasi sistematis dalam hal ini.
Mbah Siyem dan keluarganya, bersama dengan pengacara mereka, terus berjuang untuk mendapatkan kembali hak kepemilikan tanah mereka.
Mereka berharap bahwa keputusan pengadilan nantinya akan mengembalikan tanah tersebut kepada yang berhak, serta menjadi preseden penting untuk perubahan positif dalam sistem hukum pertanahan di Indonesia.
"Kami berharap agar majelis hakim yang menangani kasus ini dapat mengambil keputusan yang adil dan mempertimbangkan bukti-bukti yang tersedia. Dengan jelas dan nyata, tidak ada bukti yang menunjukkan adanya peralihan hak kepada Pemdes Karangasem. Kami meminta agar hak yang menjadi milik klien kami dikembalikan sesuai dengan keadilan yang seharusnya," tegas Lutfiansyah. (*/Shofia)