Parigi Moutong, gemasulawesi - Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) mensyaratkan akuntabilitas, transparansi, dan supremasi hukum.
Di Kabupaten Parigi Moutong, prinsip-prinsip ini belakangan menghadapi ujian berat menyusul serangkaian dugaan penyalahgunaan kewenangan yang melibatkan Wakil Bupati H. Abdul Sahid.
Isu-isu ini, mulai dari dugaan permintaan fee proyek hingga keterlibatan dalam aktivitas tambang ilegal, tidak hanya menciptakan kegaduhan politik tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah daerah.
Tulisan ini akan mengkritisi dinamika yang terjadi dan menyoroti pentingnya penegakan hukum yang adil dalam menjaga marwah birokrasi.
Baca Juga:
Aroma Kejanggalan dalam Rehab Ruang Kerja Wabup Parimo: Transparansi yang Dipertanyakan
Dua Sisi Mata Uang: Tuduhan dan Bantahan
Dugaan utama yang mencuat ke permukaan adalah intervensi dalam proses pengadaan barang dan jasa, khususnya proyek pembangunan gedung perpustakaan daerah, di mana Wakil Bupati Parigi moutong, diduga memaksa tahapan pencairan termin.
Tuduhan ini diperkuat dengan adanya laporan dugaan permintaan fee sebesar 10 persen dari nilai proyek kepada beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Di sisi lain, isu pertambangan emas tanpa izin (PETI) juga menyeret nama Wakil Bupati, di mana ia diduga meminta setoran atau bahkan mengelola blok tambang ilegal.
Menanggapi rentetan tuduhan ini, Wakil Bupati telah memberikan bantahan keras, menyebutnya sebagai fitnah yang disebarkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, dan mengklaim bahwa ia hanya menjalankan fungsi pengawasan terhadap OPD.
Pihak pemerintah daerah melalui situs resminya juga telah merilis klarifikasi untuk menenangkan situasi politik dan administratif.
Analisis Kritis: Ketika Fungsi Pengawasan Melebur Menjadi Intervensi
Terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan tersebut, eskalasi masalah hingga pengajuan hak angket oleh DPRD menunjukkan adanya krisis komunikasi dan kepercayaan yang mendalam dalam tubuh eksekutif dan legislatif daerah.
Secara etika pemerintahan, seorang pejabat publik, terutama di level wakil bupati, harus menjaga jarak dari potensi konflik kepentingan, baik dalam urusan proyek pemerintah maupun bisnis swasta seperti pertambangan.
Fungsi pengawasan yang diklaim oleh Wabup sering kali dinilai bias ketika bersinggungan langsung dengan dugaan intervensi teknis pencairan anggaran atau pengelolaan sumber daya alam.
Hal ini menimbulkan pertanyaan fundamental mengenai batasan kewenangan dan etika pejabat publik.
Ketika pimpinan daerah dinilai "kerap bermasalah", fokus pemerintahan bergeser dari pelayanan publik dan pembangunan ke urusan klarifikasi dan konflik internal, yang pada akhirnya merugikan masyarakat Parigi Moutong sendiri.
Jalan Menuju Akuntabilitas: Peran Penegak Hukum dan Legislatif
Proses hukum yang sedang berjalan di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah (Kejati Sulteng) menjadi tumpuan harapan masyarakat untuk mendapatkan kejelasan.
Kejati sendiri telah menunjukkan keseriusan dengan menahan tiga tersangka (PPK dan kontraktor) dalam kasus korupsi proyek jalan di Parigi Moutong (meskipun belum terkait langsung dengan Wabup). Ini menunjukkan bahwa lingkungan birokrasi di Parigi Moutong memang rawan terhadap praktik korupsi.
Langkah DPRD mengusulkan hak angket juga merupakan mekanisme kontrol politik yang sah dan penting untuk menyelidiki dugaan penyalahgunaan kewenangan secara institusional. Proses ini, bersama dengan pemeriksaan yudikatif, harus berjalan secara independen dan transparan.
Kesimpulannya, dugaan penyalahgunaan kewenangan Wakil Bupati Parigi Moutong adalah cerminan rapuhnya integritas dalam birokrasi lokal.
Proses hukum dan politik yang adil dan tuntas, di luar hingar bingar bantahan dan klaim, adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepercayaan publik dan memastikan bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Masyarakat berhak atas pemerintahan yang bersih dan berwibawa. (fan)