Nasional, gemasulawesi – Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 semakin mendekat di Indonesia, dan suasana politik semakin memanas.
Calon presiden dan calon wakil presiden, dikenal sebagai capres-cawapres, telah mendaftar dan bersiap dengan dukungan mereka yang kompak.
Namun, dalam setiap pemilu, tidak jarang terjadi pertempuran retorika dan sindiran antar pendukung, sebuah dinamika yang terulang dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.
Selain perang kata-kata antar pendukung, ada fenomena lain yang selalu muncul pada setiap pemilu, yaitu Golongan Putih atau Golput.
Golput adalah istilah yang merujuk pada individu yang tidak memihak pada salah satu pasangan capres-cawapres atau bahkan tidak ikut memilih sama sekali dalam pemilu.
Beragam faktor dapat memengaruhi seseorang menjadi Golput, mulai dari kekecewaan terhadap kinerja pemerintah, kebingungan dalam memilih pasangan capres-cawapres, hingga ketidakpedulian terhadap proses pemilu itu sendiri.
Baca:Temui Din Syamsudin Hari Ini, Cak Imin Sebut Tujuan Pertemuan Hanya Silaturahmi Biasa
Namun, mengapa istilah Golput digunakan? Istilah ini pertama kali muncul pada 19 Juni 1971 saat partai ketujuh merumuskan gagasan untuk orang-orang yang tidak ingin memilih partai politik atau Golkar pada Pemilu 1971.
Mereka mengusulkan pemilih untuk mencoblos area putih di antara logo-logo partai politik dan Golkar pada kertas suara.
Simbol Golput yang terdiri dari segilima hitam dengan isi berwarna putih, tanpa logo partai, pun menjadi simbol perlawanan mereka.
Baca:Terdapat Angka 8 di Visi Misi yang Diusung oleh 3 Pasangan Capres dan Cawapres, Ternyata Ini Artinya
Inilah awal mula istilah Golput untuk merujuk pada mereka yang memilih untuk tidak memilih dalam pemilu.
Meskipun pemerintah sering mengekspresikan keprihatinannya terhadap fenomena Golput, dengan alasan hak suara warga negara tidak digunakan sepenuhnya, namun upaya untuk mengatasi masalah ini masih terus berlanjut.
Pemerintah melakukan berbagai upaya seperti sosialisasi langsung kepada masyarakat dan menyebarkan konten terkait pemilu melalui media sosial.
Bahkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mengadakan acara seperti KPU Goes To Campus untuk mendidik pemilih muda, terutama mahasiswa, tentang pentingnya partisipasi dalam pemilu.
Tetapi tetap saja mengenai wacana Golput tetap ada, bahkan dalam Pilpres 2024.
Ini mencerminkan berbagai indikasi, termasuk ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem pemilu, rendahnya kesadaran politik, dan kurangnya sosialisasi pemerintah tentang pemilu.
Oleh karena itu, fenomena Golput tetap menjadi isu penting dalam setiap pemilihan umum, dan upaya untuk mengatasi masalah ini akan terus berlanjut. (*/Desi)