Nasional, gemasulawesi - Makna dari ungkapan “Bansos bersifat sementara dan berdaya selamanya” bukan hanya slogan belaka. Di Kulon Progo, Yogyakarta, penerima bantuan sosial tengah menjalani pelatihan kerajinan pelepah pisang sebagai persiapan menuju kemandirian.
Mereka dibimbing oleh instruktur yang berpengalaman agar bisa memproduksi barang bernilai jual, lengkap dengan akses ke pasar agar hasilnya terserap.
“Kami tidak menawarkan solusi cepat. Kami mulai dari asesmen, menggali potensi lokal, lalu menggandeng mitra yang berkomitmen mendampingi. Di Kulon Progo, kami temukan masyarakat yang antusias dan mitra usaha yang bersedia membeli hasil karya mereka,” ujar I Ketut Supena, Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dan Kewirausahaan Sosial.
Kemarin, sekitar 50 keluarga penerima manfaat (KPM) berkumpul di Balai Desa Kembang, Nanggulan.
Di hadapan mereka, pelepah pisang yang telah dikeringkan telah disulap menjadi tas anyaman, keranjang, hingga lembaran kertas yang artistik.
Pancaran semangat terpancar dari mata mereka, menandai perubahan peran dari penerima bantuan menjadi pelaku usaha bernilai tambah.
Di bawah spanduk bertuliskan “Kolaborasi Pemberdayaan bagi Kelompok Rentan”, pelatihan ini menjadi bukti nyata bahwa pendekatan perlindungan sosial kini bergeser ke arah pemberdayaan berbasis potensi lokal yang berkelanjutan dan adaptif.
Program ini adalah kerja sama antara Kementerian Sosial RI, Yayasan Kreatif Usaha Mandiri Alami (Kumala), dan Murakabi Craft, pelaku usaha sosial yang fokus pada kerajinan ramah lingkungan.
I Ketut Supena menyampaikan bahwa dipilihnya pelepah pisang bukan tanpa alasan. Bahan yang kerap dianggap tak berguna pasca panen ini justru menjadi lambang bahwa limbah pun bisa menjadi sumber nafkah jika dikelola dengan cara yang tepat.
Para peserta pelatihan berasal dari program bantuan seperti PKH dan bantuan pangan, yang tengah dipersiapkan untuk lulus atau mandiri.
Selain keterampilan teknis, mereka juga mendapatkan pelatihan desain, pemasaran, serta motivasi untuk membangun usaha sendiri.
Salah satu momen paling menyentuh adalah saat seorang ibu rumah tangga memperlihatkan hasil anyamannya.
“Ini keranjang pertama saya, dan langsung laku terjual. Saya bangga,” ucap Sutini dengan senyum bangga.
Peserta lainnya menyebut bisa membuat hingga 10 kerajinan sehari, dengan harga Rp70.000 per buah. Kertas berbahan pelepah pisang dijual seharga Rp5.000 hingga Rp8.000 per lembar, tergantung ukuran.
Dalam suasana yang santai namun produktif, narasumber dari Kemensos, Kumala, dan Murakabi Craft turut hadir, memamerkan hasil kerajinan yang ditata rapi di depan ruangan.
Kehadiran Murakabi Craft sebagai mitra usaha memperkuat ekosistem. Mereka tak hanya melatih, tetapi juga membeli produk peserta, bahkan membantu pemasaran ke pasar lokal maupun luar negeri.
“Kami percaya limbah organik punya potensi ekonomi tinggi. Karena itu, setiap produk yang dibuat warga, kami beli dan bantu pasarkan,” kata Othman, manajer pemasaran Murakabi Craft.
Selain Kulon Progo, Murakabi juga membeli hasil kerajinan dari desa binaan Kemensos di Lumajang yang kini memproduksi tali dari pelepah pisang.
Program ini berhasil menekan angka pengangguran dan mendorong keterlibatan perempuan dalam ekonomi keluarga.
Pendekatan ini sejalan dengan teori pemberdayaan sosial. Page dan Czuba (1999) menyebut pemberdayaan sebagai proses partisipatif yang memberi akses pada sumber daya, keterampilan, dan pengambilan keputusan.
Penelitian Herdiana, Suryanto, dan Handoyo (2020) juga menunjukkan pentingnya dukungan sosial dan keterlibatan keluarga dalam mengatasi kerentanan.
Kemensos melibatkan pendamping PKH, TKSK, relawan, dan pekerja sosial sejak tahap asesmen hingga pascapelatihan.
Pendekatan ini jadi contoh baik bagaimana program pemberdayaan tetap relevan dan berkelanjutan.
Supena menegaskan bahwa model berbasis potensi lokal dan kemitraan ini akan terus diperluas.
Namun, setiap pelaksanaan harus dimulai dengan asesmen yang mendalam dan melibatkan masyarakat secara langsung.
“Kami ingin masyarakat menyadari bahwa peluang ekonomi ada di sekitar mereka. Bukan hanya menunggu bantuan, tapi menciptakan nilai. Itulah transformasi sosial yang sedang kita bangun,” pungkasnya. (*/Zahra)