Nasional, gemasulawesi - Rencana pemerintah untuk menarik iuran wajib dari semua pekerja melalui program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tengah ramai diperbincangkan hingga menuai kecaman dari sejumlah pihak.
UU Tapera, yang pertama kali diusulkan oleh DPR pada periode 2014-2019 dan disetujui oleh semua fraksi, kini menjadi sorotan.
Ketua Pansus RUU Tapera saat itu, Yoseph Umar Hadi dari Fraksi PDIP, menjelaskan bahwa RUU Tapera adalah inisiatif DPR yang masuk dalam prolegnas 2015 dan disepakati bersama oleh DPR dan pemerintah untuk diprioritaskan.
Fraksi PKS di DPR, meskipun beroposisi, juga memuji pengesahan UU Tapera.
Sekretaris Fraksi PKS DPR RI Abdul Hakim pada Juni 2016 menyatakan bahwa UU Tapera akan membuka akses kepemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sebuah solusi penting mengingat kebutuhan rumah yang terus meningkat.
Menurut Abdul Hakim, peserta Tapera akan diwajibkan menabung sebesar 2,5 persen dari penghasilan mereka, sementara pemberi kerja menambah 0,5 persen.
Dana Tapera ini nantinya dapat digunakan untuk pembiayaan kepemilikan rumah, pembangunan, dan perbaikan rumah.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Tapera, peserta dapat memperoleh kredit dengan suku bunga tetap 5 persen dan jangka waktu pembayaran fleksibel hingga 30 tahun.
Peserta yang sudah pensiun atau tidak memenuhi syarat lagi berhak mendapatkan pengembalian dana beserta hasil investasinya.
Namun, meski tujuan UU Tapera terdengar baik, kritik tetap datang dari berbagai pihak. Banyak yang merasa kewajiban iuran ini membebani pekerja dan pemberi kerja.
Kritikus berpendapat bahwa iuran ini akan menambah beban finansial bagi pekerja yang sudah harus menghadapi berbagai potongan penghasilan lainnya.
Selain itu, ada kekhawatiran mengenai efektivitas pengelolaan dana Tapera dan apakah program ini benar-benar akan memberikan manfaat yang signifikan bagi peserta, terutama dalam hal kemudahan akses kepemilikan rumah.
Kritik juga datang dari kalangan pengusaha yang khawatir bahwa kewajiban menabung 0,5 persen dari penghasilan pekerja akan meningkatkan beban operasional mereka.
Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi COVID-19, tambahan biaya ini dianggap bisa memberatkan.
Selain itu, ada juga kekhawatiran mengenai birokrasi dan kompleksitas administrasi yang mungkin timbul dalam implementasi program Tapera, yang bisa berdampak pada kelancaran operasional bisnis.
Di sisi lain, beberapa ekonom dan pakar perumahan mendukung UU Tapera dengan catatan bahwa implementasinya harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan bertahap.
Mereka melihat bahwa program ini bisa menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah kekurangan perumahan di Indonesia, selama dana dikelola dengan baik dan tepat sasaran.
Mereka juga menekankan pentingnya pengawasan yang ketat dari pihak berwenang untuk memastikan bahwa dana Tapera benar-benar digunakan untuk tujuan yang telah ditetapkan.
Pemerintah sendiri telah berkomitmen untuk memastikan bahwa dana Tapera akan dikelola secara profesional dan transparan.
Mereka juga berjanji akan memperkuat pengawasan dan regulasi untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dana.
Dalam hal ini, kerjasama dengan berbagai lembaga keuangan dan perbankan juga akan ditingkatkan untuk memastikan bahwa peserta Tapera bisa mendapatkan akses pembiayaan perumahan yang layak dan terjangkau.
Dengan adanya diskusi yang konstruktif antara pemerintah, DPR, dan masyarakat, diharapkan program Tapera dapat berjalan sesuai dengan tujuan awalnya yaitu membantu masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah, untuk memiliki rumah sendiri.
Program Tapera memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia jika dikelola dengan baik dan didukung oleh regulasi yang kuat serta transparansi yang tinggi.
Sebaliknya, tanpa manajemen yang baik dan pengawasan yang memadai, program ini bisa menambah beban bagi masyarakat dan tidak mencapai tujuannya. (*/Shofia)