Kupas Tuntas, Gemasulawesi – Gunung Everest telah lama menjadi ikon petualangan dan penjelajahan manusia.
Tingginya yang luar biasa, mencapai 8.848 meter di atas permukaan laut, membuatnya menjadi tantangan yang menggoda bagi para pendaki gunung.
Namun, Everest juga telah menelan banyak korban dalam upaya mencapai puncaknya yang terkenal.
Film “Everest,” yang dirilis pada tahun 2015, membawa penonton pada perjalanan epik yang menakjubkan, tetapi mematikan ini, di mana manusia berjuang untuk mengatasi tantangan alam dan ujian mental di puncak tertinggi dunia.
Kisah ini terinspirasi oleh peristiwa nyata tragedi di Gunung Everest pada tahun 1996, yang menjadi salah satu pengalaman paling mematikan dalam sejarah mendaki gunung.
Film ini mengambil pendekatan sinematik yang mendalam dalam menggambarkan kisah nyata ini, memperkenalkan kita pada sejumlah karakter yang memiliki impian besar untuk mencapai puncak Everest.
Salah satu karakter sentral dalam film ini adalah Rob Hall, yang diperankan dengan kuat oleh Jason Clarke.
Rob adalah pemimpin ekspedisi berpengalaman yang telah membawa banyak pendaki ke puncak Everest sebelumnya.
Kali ini, dia memimpin kelompok campuran pendaki amatir dan berpengalaman, termasuk Beck Weathers (Josh Brolin), seorang miliuner yang mencari petualangan.
Lalu ada Doug Hansen (John Hawkes), seorang tukang pos yang memiliki sejarah panjang dengan Everest, John Krakauer (Michael Kelly), seorang penulis terkenal, dan Yasuko Namba (Naoko Mori), seorang pendaki wanita asal Jepang dengan tekad kuat.
Perjalanan mereka dimulai di Nepal, di mana mereka harus beradaptasi dengan ketinggian ekstrem dan kondisi cuaca yang tidak dapat diprediksi.
Di Base Camp Everest, tempat para pendaki berkumpul sebelum memulai perjalanan mereka, mereka menemukan diri mereka berhadapan dengan berbagai ujian, termasuk persaingan sengit antara kelompok-kelompok pendaki yang berbeda.
Namun, tantangan sebenarnya baru dimulai saat mereka memulai pendakian mereka.
Everest tidak hanya tentang fisik, tetapi juga tentang mental.
Badai salju yang mengerikan, peralatan yang bermasalah, dan kondisi cuaca yang buruk membuat perjalanan mereka sangat berbahaya.
Ketika pasokan oksigen mulai menipis dan cuaca semakin memburuk, para pendaki harus menghadapi pilihan sulit, melanjutkan menuju puncak dengan risiko besar atau mengambil keputusan bijak untuk kembali.
“Everest” bukan sekadar film petualangan, tetapi juga refleksi mendalam tentang tekad manusia dan keputusan yang harus diambil dalam menghadapi bencana alam.
Film ini memaksa penonton untuk merenung tentang batasan diri, hasrat untuk menaklukkan alam liar, dan bagaimana manusia merespons ketika mereka berada di ambang kehidupan dan kematian.
Terlepas dari hasil akhirnya, perjalanan ini adalah pengingat bahwa alam dapat sangat tidak terduga dan kuat, dan kita sebagai manusia harus selalu menghormatinya dalam pencarian petualangan kita. (*/Haris Wahyu Pratama)
Editor: Muhammad Azmi Mursalim
Ikuti Update Berita Terkini Gemasulawesi di: Google News