Nasional, gemasulawesi - Universitas Diponegoro (Undip) tengah berada di bawah sorotan tajam publik setelah terungkapnya kasus bullying dan iuran tinggi di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Berita ini mencuat ketika Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Undip, Yan Wisnu Prajoko, mengungkapkan bahwa mahasiswa baru di PPDS anestesi dikenakan iuran yang tidak resmi berkisar antara Rp 20-40 juta.
Pengakuan ini menyebar luas dan viral di media sosial, memicu gelombang reaksi dari berbagai kalangan.
Banyak netizen yang mengungkapkan kemarahan dan kekecewaan mereka melalui komentar di platform media sosial, mengkritik praktek iuran yang dianggap sebagai bentuk pemerasan terhadap mahasiswa.
"What 40 juta? Lo pikir kuliah kagak mahal apa, seenak jidat," komentar akun @ay***.
Beberapa di antaranya menilai bahwa iuran tersebut merupakan beban tambahan yang tidak seharusnya ditanggung oleh mahasiswa yang sudah membayar biaya pendidikan yang tinggi.
Tak sedikit pula yang menuntut tindakan tegas pemerintah.
"Pak menteri tolong dibantu tertibkan itu, sudah UKT mahal, ini salah satu alasan berobat mahal, dokter mahal, dimana sisi kemanusiaannya?" komentar akun @mas***
Baca Juga:
Buntut Viralnya Video WNI Korban TPPO di Myanmar, DPR Desak Pemerintah Bertindak Cepat
Dalam konferensi pers yang diadakan di Aula FK Undip, Yan Wisnu menjelaskan bahwa meskipun pelaku iuran mungkin memberikan alasan rasional terkait biaya tersebut, ia menganggap alasan tersebut tidak dapat diterima secara publik.
Yan Wisnu menegaskan bahwa pengenaan iuran semacam ini menciptakan ketidakadilan dan harus dihentikan.
Sebagai respons, Yan Wisnu mengeluarkan surat edaran yang membatasi iuran mahasiswa PPDS menjadi maksimal Rp 300 ribu.
"Surat edaran ini merupakan bagian dari upaya kami untuk mengatasi masalah bullying dan praktek keuangan yang tidak sesuai dengan ketentuan," jelas Yan, dikutip pada Minggu, 15 September 2024.
Surat edaran tersebut berisi tiga poin penting, salah satunya adalah pembatasan iuran, untuk memastikan bahwa beban keuangan mahasiswa tetap wajar dan tidak memberatkan.
Meskipun pembatasan ini diterapkan, Yan Wisnu mengakui bahwa menghentikan iuran sepenuhnya merupakan tantangan yang kompleks.
Iuran tersebut sering kali digunakan untuk berbagai kegiatan non-akademik seperti nyanyi, sepakbola, bulutangkis, serta kebutuhan sewa mobil, kos, dan makan.
"Biaya makan merupakan komponen terbesar dari iuran, mencapai dua per tiganya," tambah Yan.
Kontroversi ini tidak hanya menarik perhatian publik, tetapi juga menimbulkan pro dan kontra di kalangan komunitas akademik dan masyarakat.
Beberapa pihak mendukung langkah tegas Yan Wisnu, sementara yang lain merasa bahwa tindakan tersebut masih belum cukup untuk menyelesaikan masalah secara menyeluruh.
Kasus ini menggarisbawahi perlunya transparansi dan regulasi yang ketat di lingkungan pendidikan tinggi.
Keberanian Yan Wisnu untuk mengakui masalah dan mengambil tindakan tegas diharapkan dapat memperbaiki praktik keuangan yang tidak sesuai dan menciptakan lingkungan akademik yang lebih adil.
Langkah-langkah yang diambil oleh pihak universitas harus diikuti dengan pengawasan yang ketat dan penerapan kebijakan yang jelas agar tidak ada lagi beban finansial tambahan yang memberatkan mahasiswa.
Proses perbaikan ini memerlukan dukungan dari seluruh pihak terkait, termasuk mahasiswa, fakultas, dan manajemen universitas, untuk memastikan bahwa kasus serupa tidak terulang di masa depan. (*/Shofia)