Subsidi Energi Bermasalah, DPR Minta Menkeu Prioritaskan Perbaikan Mekanisme Pembayaran

Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun. Source: (Foto/ANTARA/HO-DPR)

Nasional, gemasulawesi - Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengingatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk lebih memprioritaskan pembenahan tata kelola pembayaran subsidi serta kompensasi dalam pelaksanaan APBN.

Menurutnya, kementerian di bawah kepemimpinan Menteri Purbaya Yudhi Sadewa sebaiknya tidak terseret dalam polemik terkait hal-hal yang bersifat teknis.

“Pembayaran yang sering terlambat membuat arus kas terbebani dan bisa mengganggu pelayanan publik. Inilah yang harus segera diperbaiki oleh Menteri Keuangan,” ujar Misbakhun.

Komentar Misbakhun tersebut merupakan tanggapan terhadap polemik antara Menkeu Purbaya dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia terkait data subsidi serta harga LPG 3 kilogram.

Baca Juga:
Kemenkeu Buka Blokir Anggaran Rp168,5 Triliun untuk Dukung Program Prioritas dan Operasional K/L

Anggota Fraksi Partai Golkar itu mengatakan bahwa masalah klasik dalam subsidi energi seperti LPG 3 kilogram, BBM, maupun listrik masih terus muncul hingga saat ini.

Sebagai mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP), ia menyebut bahwa kewajiban pokok Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara adalah memastikan subsidi dibayarkan secara tepat waktu, terbuka, dan akuntabel.

Terkait hal-hal teknis seperti penentuan harga dan penyaluran subsidi, menurutnya, menjadi tanggung jawab kementerian teknis, yaitu Kementerian ESDM serta Kementerian Sosial.

“Undang-undang sudah mengatur secara jelas mengenai pembagian kewenangan. Jadi, ketika Menkeu menyampaikan hal di luar tugasnya, itu berisiko menimbulkan masalah koordinasi antar kementerian,” katanya.

Baca Juga:
Kebijakan Penempatan Dana Rp200 Triliun Mulai Berdampak, Purbaya: Likuiditas Meningkat, Ekonomi Bergerak

Lebih jauh, Misbakhun menegaskan bahwa inti dari subsidi adalah menjaga kemampuan daya beli masyarakat kecil sekaligus memastikan kelompok rentan tetap mendapatkan akses energi dengan biaya yang terjangkau.

Karena itu, ia menekankan bahwa perdebatan antar kementerian tidak seharusnya mengaburkan tujuan utama dari kebijakan subsidi.

“Kalau distribusi subsidi LPG 3 kilogram atau bentuk subsidi energi lainnya tidak mengenai sasaran, yang paling dirugikan adalah masyarakat menengah ke bawah. Yang diperlukan sekarang ialah pembaruan basis data penerima, integrasi sistem digital, serta koordinasi antar kementerian, bukan justru saling berdebat di ruang publik,” ucapnya.

Misbakhun menjelaskan bahwa penerima subsidi energi nantinya akan tercatat dalam Data Terpadu Subsidi Energi Nasional (DTSEN), yang disusun melalui kerja sama Kementerian ESDM dengan Badan Pusat Statistik (BPS).

Baca Juga:
KPK Ungkap Dugaan Korupsi Kuota Haji, Pansus DPR Soroti Pembagian Tambahan yang Menyimpang

Ia menilai, saat ini yang paling dibutuhkan adalah penguatan koordinasi serta pemutakhiran data secara berkelanjutan.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa belanja subsidi dan kompensasi energi dalam APBN 2026 diperkirakan meningkat akibat ketidakpastian harga.

Untuk itu, Misbakhun menekankan pentingnya disiplin fiskal dan tata kelola yang lebih baik agar kredibilitas APBN tetap terjaga serta mendapat kepercayaan masyarakat.

“Komisi XI DPR RI mendukung penuh kebijakan subsidi bagi rakyat, namun tetap melakukan pengawasan agar pelaksanaan APBN berlangsung teratur, efektif, dan mengutamakan kepentingan masyarakat. Menteri Keuangan harus menjawab tantangan tersebut dengan menjamin pembayaran subsidi dilakukan tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Misbakhun.

Baca Juga:
Komisi II Desak Mendagri Hentikan Pemangkasan Dana Transfer Daerah

Sebelumnya, dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Menkeu Purbaya menyatakan bahwa harga asli LPG 3 kilogram mencapai Rp42.750 per tabung.

Menurutnya, pemerintah menanggung beban subsidi sekitar Rp30.000 per tabung sehingga masyarakat hanya membayar Rp12.750.

Namun, Menteri ESDM Bahlil menilai Purbaya keliru dalam membaca data dan menilai wajar jika sebagai Menkeu baru ia masih memerlukan penyesuaian.

“Mungkin Menkeu salah membaca data. Ya, bisa jadi memang masih butuh adaptasi,” kata Bahlil. (ANTARA)

Bagikan: