Nasional, gemasulawesi - Mantan Menteri Perdagangan Indonesia, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, menyampaikan tanggapannya terkait perubahan susunan majelis hakim dalam perkara dugaan korupsi importasi gula yang menjerat dirinya.
Komentarnya muncul setelah salah satu hakim yang sebelumnya menangani perkaranya, Ali Muhtarom, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap oleh Kejaksaan Agung RI.
Ali ditangkap bersama dua hakim lainnya, Djuyamto dan Agam Syarief Baharudin, serta Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.
Penangkapan para hakim tersebut terkait dengan dugaan suap dan/atau gratifikasi yang berkaitan dengan putusan lepas dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Penetapan tersangka terhadap Ali Muhtarom menyebabkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengganti posisinya dalam majelis hakim kasus Tom Lembong.
Posisi Ali digantikan oleh Hakim Alfis Setiawan yang kini menjadi bagian dari susunan majelis hakim baru.
Dengan demikian, susunan majelis hakim yang menangani perkara dugaan korupsi importasi gula yang menyeret Tom Lembong kini terdiri atas Hakim Ketua Dennie Arsan Fatrika, serta dua hakim anggota yakni Purwanto Abdullah dan Alfis Setiawan.
Perubahan ini dilakukan untuk menjamin integritas dan netralitas dalam proses peradilan yang sedang berjalan.
Menanggapi penangkapan hakim yang sebelumnya mengadili dirinya, Tom Lembong menyampaikan rasa prihatin terhadap kondisi peradilan di Indonesia.
Ia mengungkapkan bahwa sejak awal, dirinya telah menyerahkan proses hukum yang menimpanya kepada kekuasaan Tuhan.
“Dari awal saya sempat bilang, kami serahkan saja ke Tuhan Yang Mahakuasa,” kata Tom Lembong di Jakarta pada Senin 14 April 2025. Ia menegaskan bahwa dirinya tetap percaya kepada keadilan yang akan ditegakkan, meskipun prosesnya tidak selalu mudah.
Diketahui, dalam kasusnya, Tom Lembong didakwa telah merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp578,1 miliar.
Kerugian tersebut diduga timbul karena penerbitan surat pengakuan impor atau persetujuan impor gula kristal mentah pada periode 2015–2016 kepada 10 perusahaan.
Langkah tersebut dilakukan tanpa melalui rapat koordinasi antar-kementerian dan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, yang merupakan bagian dari prosedur resmi dalam pemberian izin impor.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan nama besar dalam pemerintahan sebelumnya serta menyoroti persoalan akuntabilitas dalam tata kelola impor bahan pangan strategis. (*/Risco)